From Local To Global Strategi Pembangunan Rendah Emisi Carbon Berbasis Masyarakat
Pembahasan perubahan iklim selalu menjadi isu yang menarik sejak beberapa dekade terakhir, tidak hanya di tataran nasional melainkan juga internasional. Pada Desember tahun 2015 lalu telah dilaksanakan pertemuan negara-negara yang tergabung dalam UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) untuk membahas mengenai perubahan iklim. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan yang disebut sebagai Paris Agreement, protokol baru yang menggantikan Protokol Kyoto sebagai kesepakatan bersama untuk menangani perubahan iklim dengan berbagai aspeknya dan berkomitmen untuk melakukan pembangunan yang rendah emisi.
Berdasarkan hal tersebut dalam The Global Challenges-Agenda Pembangunan, perubahan iklim menjadi perhatian khusus, dimana disebutkan bahwa semua negara harus melakukan aksi cepat dan signifikan dalam melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, tentu pelaksanaannya mengacu pada isi Paris Agreement. Dilanjutkan pada point berikutnya tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut dan pesisir secara berkelanjutan yang harus segera ditangani.
Untuk mendukung pembangunan rendah emisi, berbagai kajian telah dilaksanakan. Bahkan secara konsep telah dikenal secara global. Sebut saja konsep LEDS (Low Emision Development Startegy) atau yang lebih kita kenal dengan SPRE (Strategi Pembangunan Rendah emisi). Di Indonesia sendiri, SPRE telah diadopsi baik dalam RAN GRK (Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca) dan RAD GRK pada level Provinsi dan Kabupaten. Namun di beberapa daerah, pelaksanaannya terkonsentrasi pada bagian hulu, dengan berbagai program konservasi hutan dan kawasan. Padahal, daerah pesisir dan laut yang merupakan muara dari berbagai aktivitas di bagian hulu juga sangat perlu untuk mendapatkan perhatian. Dari sisi konsepsi, SPRE pesisir sudah memiliki landasan yang cukup kuat. Prinsip bahwa aktifitas dinamika alamiah di wilayah pesisir dan laut dipengaruhi oleh dinamika perputaran energi ekosistem laut yang dikenal dengan Blue Carbon yang diperankan oleh ekosistem mangrove, lamun dan saltmarsh.
“Jika indonesia mendukung dan bersepakat untuk melaksanakan Paris Agreement serta SDG’s, maka kita harus memulainya dari pesisir-pesisir, desa-desa, from local to global, itu yang harus kita lakukan”, demikian sepenggal kalimat Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pertanian Bogor, Bapak Dr.Luky Adriyanto saat membuka National Workshop On Strengthening Of The LEDS Implementation In Coastal Area yang dilaksanakan pada tanggal 24 Maret 2016 bertempat di Hotel Santika Seminyak-Bali. Pada kesempatan tersebut juga Dr.Luky Adriyanto juga menyampaikan bahwa pembangunan rendah emisi di daerah pesisir harus mendapatkan perhatian yang serius bukan hanya karena pesisir menjadi daerah-daerah yang rentan terkena dampak perubahan iklim saja, melainkan karena 90% penduduk yang tinggal di sekitar pesisir tergolong dalam kategori miskin. Kondisi ini terjadi tidak hanya di Indonesia saja melainkan seluruh negara, namun dari angka kemiskinan masyarakat pesisir Indonesia menyumbang sekitar 13%. Sehingga dengan demikian strategi yang dilaksanakan tidak hanya bertujuan untuk menurunkan emisi karbon tetapi lebih dari itu, konsep pembangunan yang dilaksanakan haruslah juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kita menyadari bahwa dari sisi konsep kita sudah memiliki cukup banyak referensi, namun yang terpenting adalah bagaimana strategi yang akan dikembangkan untuk membangun desa-desa pesisir tersebut. Karena rencana aksi tersebut belum menyentuh level desa.
Pada workshop yang dihadiri oleh perwakilan dari Dinas Perikanan dan kelautan Provinsi NTB dan NTT, Bappeda propinsi NTB dan NTT serta kepala Bappeda Kabupaten lokasi program, tidak hanya menghadirkan narasumber dari pihak Pemerintah pusat dan akademisi saja. Tetapi juga menghadirkan beberapa tokoh masyarakat yang telah mencoba menerapkan pembangunan rendah emisi berbasis masyarakat. Salah satunya adalah Model Pengelolaan Kawasan Wisata Rendah Emisi Berbasis Desa Adat di Desa Kutuh Bali. Disampaikan oleh Dr.Drs I Made Wena, M.Si, Jro Bendesa desa Adat Kutuh (Kepala Desa) bahwa awig-awig (kearifan lokal) menjadi modal utama. Awig-awig yang ada di Desa Adat Kutuh secara komprehensif, mulai dari pengelolaan lahan adat, daerah pantai, green clif serta pembangunan jalan dan hotel di sepanjang garis pantai yang mereka miliki. Tidak cukup sampai disitu, berdasarkan awig-awig yang mereka miliki, Desa Adat Kutuh membentuk badan usaha desa dengan sebutan BUMDA (Bhaga Utsaha Manunggal Desa Adat- Desa adat Kutuh). Hingga saat ini BUMDA Desa Adat Kutuh memiliki 9 Unit usaha, yaitu , Unit Usaha LPD, Unit Usaha DTW Pantai Pandawa, Unit Usaha DTW Gunung Payung Cultural park, Unit Usaha Pengelolaan Barang dan Jasa, Unit Usaha PiranR Yadnya, Unit Usaha Atraksi Wisata Paragliding, Unit Usaha Atraksi Seni dan Budaya, Unit Usaha Jasa, Transportasi Pandawa Mandiri, Unit Layanan Kesehatan dan Keamanan Wilayah. Dari keseluruhan unit uasaha tersebut, BUMDA Desa Adat Kutuh mendapatkan laba bersih hampir mencapai 9 milyar per tahun.
Dari hasil berbagai pengalaman Desa Adat Kutuh tersebut telah menunjukkan bahwa sebenarnya desa, baik itu Hulu maupun Hilir memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama untuk membangun desa mandiri dengan segala potensi yang mereka miliki didukung oleh kewenangan penuh pemimpin desa untuk dapat menerapkan awig-awig pelestarian alam yang mereka miliki secara turun temurun serta dukungan pemerintah pusat melalui Dana Desa, sehingga pembangunan rendah emisi sangat memungkinkan terintegrasi dalam RPJMDes. Dengan demikian, ketika Indonesia siap melaksanakan penurunan emisi hingga 29 % sesuai dengan Paris Agreement, sesungguhnya pada tataran pratik kita telah memulainya dari level desa, from Local to Global.