Kunjungan media : potensi, tantangan dan solusi pengelolaan pesisir di Sumba Barat Daya
Pulau Sumba khususnya kabupaten Sumba Barat Daya memiliki potensi sumberdaya alam pesisir yang luar biasa dengan panjang pesisir sejauh 147 Km. Potensi sumberdaya pesisir ini dikembangkan untuk pariwisata, pelestarian lingkungan dan peningkatan ekonomi rakyat antara lain penanaman mangrove, budidaya rumput laut dan pembuatan garam yang masih berkonsep konvensional/tradisional. Pengembangan potensi pesisir di Kabupaten Sumba Barat Daya belakangan ini mengalami tantangan yang cukup besar oleh karena beralihnya status kepemilihkan lahan pesisir dari penduduk lokal ke investor yang berasal dan berdomisili di luar pulau.
”Kami memiliki potensi pesisir yang bagus untuk pariwisata dengan akses jalan yang sudah baik ke semua daerah tersebut. Ini perlu keseriusan pemerintah untuk mengelolanya. Memang saat ini hampir 80% lahan pesisir sudah dijual oleh pemilik tanah yang rata-rata individu ke investor dari luar pulau Sumba sejak tahun 2007. Di satu sisi, investor diperlukan untuk pengembangan daerah, namun disisi lain perlu kebijakan pemerintah untuk melindungi lahan yang sudah terlanjur dimiliki investor sehingga masyarakat yang tinggal disekitarnya juga mendapat manfaat ekonomi” demikian diungkapkan oleh Wakil Bupati Sumba Barat Daya, Drs. Ndara Tanggu Kaha di Ruang kerjanya saat menerima Tim kunjungan media BaKTI – MCA Indonesia, kamis 25 Februari.
Kegiatan kunjungan media ini adalah bagian dari aktifitas pengetahuan hijau, Proyek Kemakmuran Hijau MCA Indonesia dengan tujuan untuk menyebarkan informasi mengenai tantangan pengelolaan pesisir yang dihadapi Sumba secara umum dan bagaimana Aktifitas Pengetahuan Hijau yang dilakukan oleh salah satu mitra MCA Indonesia, Blue Carbon Consorsium bersama-sama masyarakat dan pemerintah kabupaten di Sumba berupaya mengatasi tantangan pembangunan kawasan pesisir di daerah tersebut.
Kunjungan media ini diadakan tanggal 23-25 Februari 2016 lalu dengan lokasi kunjungan ke beberapa desa di Kabupaten Sumba Barat Daya antara lain, Desa Tanjung Karoso dan Desa Pero Batang di Kecamatan Kodi serta Desa Wainyapu, Kecamatan Kodi Balaghar. Tim kunjungan media terdiri dari Darwin Fatir ( LKB ANTARA), Sofian Dwi (Koran Sindo Jakarta), Stef Segu (DRM MCA Indonesia wilayah Sumba Barat Daya), Sherly Heumasse dan Wenda Radja (Staf BaKTI – MCA Indonesia).
Hari pertama kunjungan, 23 Feb tim bertemu dan mewawancarai warga yang dulu adalah pemilik lahan. ”Saya menjual tanah ke orang luar tahun 2010 seluas 16Ha dengan harga 50 juta/ha karena kebutuhan ekonomi. Hasilnya kemudian kami bagi ke semua anggota keluarga” cerita Pak Yohanis Ramone (78), warga kampung Hurikawango, Desa Tanjung Karoso Kecamatan Kodi. Ketika kami berkunjung ke lokasi pesisir, lahan yang sudah dibeli tersebut sama sekali belum dikelola dan dimanfaatkan oleh investor. Bahkan warga masih memanfaatkan laut disekitarnya untuk tempat bermain anak-anak dan persinggahan nelayan yang baru pulang melaut mencari ikan.
Kondisi pesisir yang rusak juga kami temukan saat berkunjung ke kawasan pesisir di Desa Pero Batang, Kecamatan Kodi. Menurut Kepala Desanya, Waijewa (40), ”hampir 600Ha tanah yang dijual oleh warga kepada investor dari Jawa dan Bali, tetapi sampai saat ini belum dikelola jadi warga memanfaatkan untuk menanam jagung. Bagian garis pantai digunakan warga untuk mengambil pasir galian C untuk dijual sebagai mata pencaharian. Kekhawatiran kami suatu saat ketika investor datang dan kelola, bisa jadi warga tidak punya lahan untuk menanam dan akses ke pantai lagi”.
Desa Wainyapu, desa terakhir yang kami datangi justru memiliki cerita berbeda. Di desa ini, potensi wisatanya sangat besar karena budaya pasola dan Rumah adat yang lumayan banyak dikunjungi wisatawan bahkan dari mancanegara. hasil interview dengan Kepala Desa, Yulius Wainega (34) ternyata kawasan pesisir di dekat objek wisata tersebut belum dibeli oleh investor. "Lahan pesisir tersebut pernah ditawar oleh investor dari Italia dengan harga 5 miliar tetapi sebagai pemilik lahan saya tidak mau menjualnya karena akan diwariskan ke anak nanti" kata Yulius. Desa Wainyapu adalah satu desa terpilih menjadi demplot program BCC di Sumba Barat Daya.
Peralihan lahan warga ke investor ditegaskan pula oleh Bapak Edward Tuka, Kasie HTPT BPN Sumba Barat Daya. ”Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena itu tanah milik warga secara individu dan proses penjualan tidak melibatkan kami. Yang bisa dilakukan BPN adalah mengeluarkan sertifikat sesuai kepemilikan yang sah sehingga tidak menimbulkan konflik di kemudian hari” kata Pak Edward.
”Pernah Ada kasus tumpang tindih sertifikat tanah yang dilakukan oleh oknum BPN, tetapi sudah diselesaikan dengan baik. Yang perlu mendesak segera dibuat adalah Perda Ijin perubahan pengunaan lahan, karena dalam Undang undang dikategorikan ada lahan pertanian maupun non pertanian. Ini penting ketika investor kedepannya akan memanfaatkan lahan yang sudah mereka beli masuk kategori mana” tegas Pak Edo.
Menyikapi apa yang dirasakan warga, Badan dan Dinas terkait yang kami temui untuk wawancara juga sudah punya upaya-upaya dan alternatif solusi.
Kabupaten Sumba Barat Daya sudah memiliki Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah no 15 tahun 2009 dan saat ini dalam proses revisi bekerjasama dengan ITN Malang.
“Harapan kami hasil revisi Perda ini sudah selesai tahun 2017 sehingga Sumba Barat Daya memilki tata ruang yang lebih baik termasuk untuk kawasan pesisir” Demikian disampaikan Kepala Bappeda Sumba Barat Daya, Elizabeth Kallu saat ditemui diruang kerjanya.
Masyarakat Sumba adalah masyarakat agraris. Perlu upaya mendorong mereka agar mau mencintai laut dan memanfaatkannya karena potensi laut yang sangat besar. Selama ini hasil laut Sumba lebih banyak diambil oleh pihak luar melalui Pratik-praktik illegal fishing menggunakan potas dan bom.
”Dinas memberikan pukat dan mesin katinting berskala kecil 5 GT yang digunakan untuk menangkap ikan. Untuk budidaya rumput kami memberikan dukungan sampan sebanyak 30 unit. Sedangkan untuk tindakan preventif, kami mengadakan Patroli pengawasan pantai bekerjasama dengan Polsek dan Polairud setempat. Selain juga intensif mensosialisasikan kepada warga tentang bahaya penggunaan potas dan bom” ungkap Pak Agus Bayotanggu, Kepala Bidang Perikanan Tangkap, Pengawasan dan Pengendalian, DKP Sumba Barat Daya.
”Harapan kami ke depan, pemerintah pusat atau provinsi bisa membangun prasarana pendukung seperti jetty/dermaga. Memperkenalkan teknologi baru budidaya rumput laut serta pembuatan patok permanen, selama ini warga memakai kayu untuk pancang patok di laut yang diambil dari pesisir pantai sehingga merusak lingkungan sekitar” kata Pak Agus.
Blue Carbon Consortium, mitra Aktifitas Pengetahuan Hijau Proyek Kemakmuran Hijau - MCA Indonesia, yang fokus pada Program pengelolaan pengetahuan tata kelola sumber daya pesisir rendah emisi, saat ditemui di sela-sela kegiatan mereka di Sumba Barat Rabu 24 Feb, melalui stafnya, Bapak Warintoko mengatakan bahwa selama 2 tahun proyek, untuk empat outcome program BCC, akan diadakan pelatihan untuk setiap outcome mulai dari tingkat provinsi dan kabupaten untuk dinas terkait dan juga sampai ke tingkat desa. Diharapkan dengan kegiatan ini muncul praktik-prktik pengelolaan pesisir yang rendah emisi yang menghasilkan pengetahuan yang bisa digunakan untuk daerah lain juga
Knowledge, Attitude, Practice (KAP) survey) untuk program ini sudah selesai dilakukan dan lokasi demplot untuk setiap kabupaten sudah dipilih. Selanjutnya akan dilakukan studi kelayakan mengenai program apa saja yang tepat diterapkan di lokasi terpilih
Ditambahkan Pak Arsyad, Knowledge Management Specialist BCC, sebelum Studi kelayakan, terlebih dahulu dilakukan studi sosial ekonomi untuk megindentifikasi potensi sosial dan ekonomi yang rendah emisi. “Demplot ini akan menjadi role model bagi desa lain. Contohnya saat ini pembuatan garam di Sumba dengan cara dimasak dengan kayu, dan ini banyak mengeluarkan emisi. Kedepan akan dikembangan dengan energi panas matahari sehingga emisi yang dihasilkan juga kecil. Banyak pantai bagus yang tidak bernama dana tidak dikelola dengan baik, ke depan akan dikembangan misalnya eko wisata bahari dan membentuk kelompok masyarakat sadar wisata”.
Aktifitas masyarakat yang sudah ada saat ini ke depan akan didorong untuk menggunakan teknologi/pengetahuan yang rendah emisi tanpa harus mengubah apa yang sudah masyarakat kerjakan.
***