Sambel Beberoq dan Angka Kemiskinan NTB
Harga cabai dan tomat pada minggu akhir bulan Desember tahun 2015 sampai memasuki minggu kedua Januari 2016 cenderung meningkat dan stabil. Sempat mengalami harga fluktuatif pada bulan-bulan akhir tahun 2015 dari tadinya harga tomat berkisar Rp.1000/ kg kini meningkat drastis menjadi Rp.12.000 sampai Rp.12.000/ kg pun dengan harga cabai yang hampir-hampir mengikuti perkembangan harga ini di Pasar Desa saya per kilo cabai seharga Rp.36.000 (harga pertanggal 10 Januari 2016). Hukum permintaan dan penawaran “bergerak stabil” pengaruh faktor momentum moment hari raya Natal dan tahun baru diapit oleh Perayaan hari Besar seperti Maulid Nabi.
Bagi penikmat kuliner cita rasa pedas “Sambal mania” Bukan saja lantaran momentum perayaan hari besar. Bahkan jam makan, bagi penikmat sambel, cabai adalah bahan utama racikan sambal seperti beberoq, boleh dikata tak ada pengganti bahan utama untuk komponen cabai. Makan dengan menu sambal, sulit menghindari keringat dan tingkat kekhusyukan saat makan. Pameo yang sering kita dengar, khususnya di kalangan masyarakat perdesaan di Lombok mengatakan “Orang kita, kalau makan selalu berkeringat, entah kalau bekerja”. Jleb! Kalimat yang satir dan cenderung menghakimi bahwa dalam soal “makanan” boleh jadi kita dapat diandalkan untuk bersaing.
Seiring meningkatnya harga tomat dan cabai, baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB justru merilis jumlah penurunan Angka Kemiskinan di NTB. Dari beberapa data dan angka yang terasa nikmat bak menikmati sambal Beberoq saat menu hidangan makan siang disajikan tercatat; penurunan kemiskinan pada bulan Maret sampai September 2015 sebesar 0.56 persen yaitu sebesar 21.060 jiwa. Kepala BPS angkat bicara soal jumlah penduduk Miskin di Perkotaan dan Perdesaan, pada Maret 2015. Jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai angka 425.001 jiwa pada September 2015 diklaim menurun sebesar 7000 jiwa dari angka pada Maret 2015 sebesar 432.001 jiwa. Pun di wilayah perkotaan berkurang sebesar 14.060 jiwa dari angka 391.088 (pada Bulan Maret) menjadi 377.028 jiwa pada September 2015. Sungguh angka yang fantastis dari segi penurunan angka kamiskinan dalam satu semester di tahun yang sama.
Pernyataan Gubernur NTB yang dimuat beberapa media cetak dan elektronik pada Rabu 6 Januari 2016 yang menyebutkan penurunan angka kemiskinan di NTB merupakan dampak dari aktifitas ekonomi masyarakat antara bulan Maret dan September 2015 cukup bagus. Salah satunya dari tingginya investasi dari pihak swasta yang masuk ke NTB yang membawa pengaruh positif, disebutkan salah satunya pembangunan pabrik gula di Kabupaten Dompu, serta adanya dua mall baru di Kota Mataram yang turut memberi andil besar pada serapan tenaga kerja. Termasuk menyinggung soal penolakan impor beras. Sungguh, inilah menu sedap campuran sambal beberoq dengan kombinasi ikan asin dan sayur bening, nasi hangat yang disajikan.
Dari penurunan angka kemiskinan raihan NTB dalam satu semester ini, yang oleh BPS dinyatakan penyumbang terbesarnya adalah sektor makanan. Komoditi yang disebutkan memberi pengaruh besar terhadap perubahan garis kemiskinan baik di wilayah perkotaan dan perdesaan diantaranya Beras, rokok kretek filter, ikan jenis tongkol/tuna/cakalang telur ayam ras dan mie instan. Dari sekian komoditas yang termasuk komoditi pangan tersebut, nampaknya hanya beras yang berani kita klaim sebagai presentase produk lokal tertinggi yang memberi sumbangan ekstra. Bagaimana tidak, kita tidak punya sejarah produksi rokok kretek filter kecuali bahan baku utamanya yaitu tembakau, apalagi cerita soal produk mie instan. Mungkin pada bagian diskusi lain, BPS dapat lebih menampilkan sandingan data peningkatan jumlah serta kunjungan restoran dan Warung-warung makan di NTB dan dampaknya terhadap penurunan angka kemiskinan.
Membaca dan menyimak citarasa nikmat tersebut, sesekali rasa pedas membuat meringis, biji cabai yang nyangkut di gigi, bagian dari drama nikmat yang terasa. Pun dengan bagian pemberitaan dari rilis data BPS yang menyebutkan penduduk NTB yang sangat rentan dengan kemiskinan adalah yang hidup dari sektor pertanian. Mengingat NTB mayoritas dari sektor pertanian, boleh jadi ini hal serius yang sedang dihadapi daerah ini. Di satu sisi mall dan supermarket bertambah, namun nasib petani diujung jurang kemiskinan. Artinya, jika dapat saya tafsir, bahwa keberadaan mall dan berjamurnya supermarket belum menyentuh terhadap pemasaran hasil pertanian lokal (boleh jadi itu) belum signifikan antara penolakan impor beras dengan kebijakan untuk membela dan membeli hasil panen gabah petani lokal. Sekali lagi, kondisi biji cabai dari racikan sambal, meski terlihat kecil jangan diremehkan, katanya sih bisa berdampak pada penyakit usus buntu.
Sektor Pertanian dan Tekhnologi Ala Cobek
Selalu ada yang akan nampak berbeda dari sentuhan tekhnologi, dan kita seolah “dipaksa” beradaptasi dengan kondisi ini. Hal yang sama terjadi dalam pengolahan sambal Beberoq, akan terasa berbeda cita rasa sambal yang diolah menggunakan blander (saya suka menyebutnya dengan penggiling mesin) dibandingkan cobek. Meski terasa praktis dan sama-sama menghasilkan “Sambal”. Untuk penikmat cita rasa mereka akan dengan mudah membedakan produk yang dihasilkan dari kecepatan mesin dengan olahan kreatif ulekan Cobek.
Kemajuan tekhnologi telah memberikan manusia alat yang luar biasa untuk mengolah alam yang memungkinkannya untuk meningkatkan produksi dalam tingkatan yang belum pernah tercapai sebelumnya. Karena tekhnologi-lah yang membuat umat manusia keluar dari kemiskinan. Akan tetapi hanya bangsa-bangsa yang maju secara tekhnologi yaitu bangsa-bangsa Industri, menikmati kegunaan-kegunaannya, sedangkan yang lain tetap hidup dalam kemiskinan.
Kamajuan tekhnologi cenderung mengakhiri fenomena dasar yang telah menjadi ciri semua masyarakat manusia sampai sekarang yaitu kemiskinan. Meski demikian, hasrat memerangi Kemiskinan pada budaya masyarakat saat ini, justru cendrung menampik keberadaan sumber daya alam sebagai bagian terintegrasi dari upaya keberlanjutan untuk meraih tingkat kesejahteraan. Diperkuat lagi dengan “gelontoran” berbagai program yang justru semakin melanggengkan ketergantungan pola pertanian pada apa yang disebut “percepatan hasil”, dan abai pada keberlangsungan ekosistem.
Saya katakan demikian, faktanya hampir sepuluh tahun terakhir bahkan lebih, sistim dan pola pertanian kita, pada proses pengolahan lebih bergantung pada bibit berlabel, obat-obatan dan pupuk pestisida. Cenderung meninggalkan tradisi pengelolaan lahan yang telah diwariskan nenek moyang. Sebagai contoh yang saya maksud, untuk bibit padi misalnya, kita ingat orang tua kita dulu benar-benar teliti mengamati pertumbuhan padi, kemudian memilah dan memilih calon bibit yang baik dari proses tersebut untuk dikembangkan pada musim tanam selanjutnya. Perubahannya, kini pemerintah melalui apa yang disebut program bantuan bibit bagi petani, membuatnya terasa praktis dan cepat menuai hasil. Pun pada proses yang bergantung pada pupuk anorganik dan pestisida untuk mengusir hama.
Kenyataannya, satu masa saya bertemu dengan salah seorang petani yang tengah memanen hasil sayur kacang panjang, cabai dan tomat di lahan pertaniannya. Saya katakan “alangkah Bapak sangat beruntung dengan hasil panen ini, selain dijual juga dapat dikonsumsi keluarga” namun saya sangat terkejut dengan dengan pernyataan si Petani “Hasilnya saya jual semua, saya tak berani mengkonsumsinya karena kandungan pestisida” Saya sangat tidak paham dengan logika ini, bagaimana mungkin, produk yang kita hasilkan sendiri saja, kita takut untuk mengkonsumsinya, lalu bagaimana dengan konsumen yang lain?
Agak klise memang jika kita dengar, produk pertanian banyak ditolak supermarket lantaran kandungan pestisida. Tapi bukankah sebagai konsumen berhak untuk aman dan sehat? Kenyataannya soal ini juga semacam pola rantai yang terus menerus diamini, dibiarkan. Kita mungkin tengah mengalami krisis karakter ditengah laju peradaban ini. Dan sepertinya hal ini bukan saja berlaku pada sektor pertanian, hampir di sektor pelayanan publik pun keluhan sering terdengar “Untuk pelayanan jasa kita tak pernah cukup percaya diri untuk tampil sekedar menceritakan “Kita puas dengan hasil kerja dan kinerja produk/ layanan kita”.
Mungkin, karena kita banyak berkiblat pada Teori Adam Smith yang mengatakan bahwa self interest (kepentingan diri sendiri) yang menggerakkan dan mendorong seluruh aktifitas ekonomi, yakni produksi, distribusi dan konsumsi. Sehingga memotivasi untuk sukses, berprestasi, berkompetisi, meningkatkan kesejahteraan, menghapus garis kemiskinan sehingga hasil data dan angka raihan haruslah baik secara kuantitas dan abai pada kualitas. Teori Adam Smith ini, berhasil menyederhanakan soal, namun kenyataannya tidak hanya membutuhkan self intrest, perlunya motivasi pemberian diri secara total khususnya pada pemimpin-pemimpin di masa depan dapat memberikan pengabdian tanpa menghitung untung rugi bagi dirinya, dapat memotivasi, memelihara dan melestarikan keberlangsungan untuk diwariskan pada generasi penerus dalam konteks kearifan lokal serta dampaknya terhadap capaian kesejahteraan ***
Oleh. Maia Rahmayati**
*Tulisan ini dimuat pada Harian Lombok Post pada hari Kamis 14 Januari 2015
(**Penulis adalah Peneliti Konsorsium Hijau Kabupaten Lombok Tengah)
Sumber: http://konsorsiumhijau.org/artikel/4-sambel-beberoq-dan-angka-kemiskinan...
Kirim komentar