Rapat Koordinasi (RAKOR) Pengelolaan Hutan Bukan Kayu (HHBK) Yang Terintegrasi di Kawasan Gunung Rinjani

Anda di sini

Depan / Rapat Koordinasi (RAKOR) Pengelolaan Hutan Bukan Kayu (HHBK) Yang Terintegrasi di Kawasan Gunung Rinjani

Rapat Koordinasi (RAKOR) Pengelolaan Hutan Bukan Kayu (HHBK) Yang Terintegrasi di Kawasan Gunung Rinjani

Rinjani selain menjadi primadona bagi dunia pariwisata, juga menjadi denyut nadi bagi masyarakat yang tinggal di Pulau Lombok. Hutannya yang terbentang luas menjadi tumpuan kehidupan bagi manusia dan organisme lainnya, baik tumbuhan dan hewan. Melihat peranan yang ditawarkan oleh Rinjani mengharuskan setiap masyarakat yang tinggal dikawasan maupun di luar kawasan untuk tetap menjaga kelestarian keanekaragaman hayatinya. Salah satu caranya yaitu menjaga Rinjani dari ancaman eksploitasi dan praktik illegal logging. Ancaman semacam ini sering kali menjadi penyebab utama rusaknya kelestarian hutan. Jika hutan rusak dapat mengakibatkan keberlanjutan hidup masyarakat di sekitar. Perambahan hutan seringkali dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertangung jawab yang ada di sekitar kawasan maupun dari luar kawasan (pendatang). Oleh karena itu, perlu adanya peran aktif masyarakat dalam pengelolaan dan menjaga hutan.
Keterlibatan masyarakat menjadi kunci utama menuju hutan lestari. Rusaknya hutan akibat ulah tangan orang yang tidak bertanggung jawab seringkali dipicu karena faktor ekonomi. Seringkali kita dengar bahwa kemiskinan menjadi faktor penggerak orang-orang di sekitaran hutan untuk melakukan tindakan perambahan.
Melihat fenomena yang terjadi, WWF-Indonesia lewat bantuan dana hibah yang berikan oleh MCA-Indonesia, terus melakukan pendampingan untuk masyarakat di pinggiran hutan. Pendampingan yang dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Hutan yang dikelola merupakan hutan kemasyarakatan yang memiliki izin pengelolaan. Salah satu bentuk interpensi WWF-Indonesia yang bekerja di Lombok yaitu dengan memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) secara berkelanjutan.


Pemanfaatan HHBK secara berkelanjutan, selain berguna untuk kelestarian juga dapat meningkatkan ekonomi  masyarakat sekitar hutan. Program yang dikerjakan tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan yang sedang terjadi, terutama dalam hal pengembangan dan pemanfaatan HHBK. Makna pemanfaatan dan pengembangan yang di inisiasi oleh WWF Indonesia adalah dengan menawarkan praktik pengelolaan HHBK yang berkelanjutan, mulai dari segi produksi, pengelolaan hingga menuju proses pemasaran serta memastikan terwujudnya kebijakan yang mendukung upaya parapihak di tingkat desa, kabupaten hingga provinsi.
Merasakan hal ini perlu untuk  dilakukan, maka WWF-Indonesia, pada tanggal 02 Februari 2017 mengadakan Rapat Koordinasi (RAKOR) tentang pengelolaan HHBK yang terintegrasi di Kawasan Gunung Rinjani. Kegiatan yang diadakan di Aula Pertemuan Kantor Bappeda Provinsi NTB di hadiri oleh para pemangku kebijakan yang terkait dengan program ini, diantaranya, BAPPEDA, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Dinas Perdagangan, Dinas Koprasi dan UKM (Provinsi dan Kabupaten), Dinas Kominfo, DPMPD Dukcapil, BPDAS, KPH Rinjani Barat, Balitbang HHBK, BTNGR dan LSM serta perguruan tinggi. Selain itu, hadir juga perwakilan dari desa yang menjadi target dari kegiatan WWF-Indonesia.
Kegiatan ini ditujukan untuk mengidentifkasi peluang dan dukungan pengganggaran melalui skema kerjasama serta adanya integrasi program dalam pengelolaan HHBK, melakukan pemetaan terhadap isu-isu strategis dalam pengelolaan HHBK di Pulau Lombok.
Seperti yang disampaikan Bapak Kepala Bappeda Provinsi NTB dalam acara pembukaan RAKOR menegaskan bahwa kemiskinan yang terjadi dikawasan hutan tidak bisa dilakukan oleh satu sektor saja, oleh sebab itu maka perlu ada sinergitas antar pihak. Sebelumnya pak Ridha Hakim atau yang akrab di panggil bang Edo menyampaikan gambaran kegiatan yang akan dilakukan di 12 desa. Ke 12 berasal dari 3 kabupaten diantaranya, kabupaten Lombok Utara, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Kabupaten Lombok Utara terdiri dari desa Mumbul Sari, Selengen, Salut dan Santong Kabupaten Lombok tengah terdiri dari, desa Lantan, Karang Sidemen, Aik Berik, dan Setiling. Sedangkan kabupaten Lombok Timur terdiri dari desa Perian, Pesanggerahan, Tetebatu Selatan dan Tete Batu. Semua desa ini berbatasan langsung dengan Kawasan Hutan Gunung Rinjani. Dalam presentasinya, bang Edo mengingatkan bahwa prioritas program pembangunan  RPJMD NTB 2013 – 2018 dimana pada MISI 5 menyebutkan adanya misi meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat, mempercepat penurunan kemiskinan dan mengembangkan keunggulan Daerah (Pro-job; Pro-growth; Pro- Poor & Pro- Environment).

Selanjutnya, HHBK diharapkan menjadi pilihan utama dalam upaya melestarikan hutan dan membangun perekenomian masyarakat.Secara ekonomis HHBK memiliki nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Walaupun memiliki nilai ekonomi tinggi namun pengembangan usaha dan pemanfaatan HHBK selama ini belum dilakukan secara intensif sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Upaya pengembangan HHBK perlu dilakukan secara berkelanjutan, mengingat komoditas HHBK sangat beragam di setiap daerah dan banyak melibatkan berbagai pihak dalam memproses hasilnya, maka strategi pengembangan perlu dilakukan dengan memilih jenis prioritas yang diunggulkan berdasarkan pada kriteria, indikator dan standar yang ditetapkan. Dengan tersedianya jenis komoditas HHBK unggulan maka usaha budidaya dan pemanfaatannya dapat dilakukan lebih terencana dan terfokus sehingga pengembangan HHBK dapat berjalan dengan baik, terarah dan berkelanjutan.
Acara Rakor yang dipandu oleh Dr. Markum, Program Studi Kehutanan Universitas Mataram, mendapatkan beberapa point penting dalam hal pengelolaan HHBK. Pengelolaan HHBK perlu melibatkan banyak pihak, mulai dari tataran terendah yaitu masyarakat, pemerintah desa, kabupaten, provinsi hingga ke tatanan nasional. Sinergitas para pihak ini diharapkan hingga ke level dokumen perencanaan yang nantinya dapat dituangkan dalam RPJMDes hingga RPJMD Provinsi. Sehingga integrasi didapatkan dalam rangka mensejahterakan masyarakat tanpa mengurangi kelestarian lingkungan hutan.

Berikut ini beberapa poin penting dari Rakor ini:

  1. NTB memiliki potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang tersebar di kawasan hutan di berbagai kabupaten, khususnya di Lombok Utara, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Potensi tersebut meliputi (1)  komoditi riel antara lain: buah-buahan, madu Trigona sp, bambu, kemiri, aren; dan (2) komoditi potensial: kayu putih, rotan, ketak, gaharu.
  2. Gambaran produk HHBK yang berkaitan  dengan potensi dan aktualnya saat ini belum didukung oleh data yang memadai. Oleh karena itu penting dilakukan penyusunan data dasar tentang HHBK, terkait dengan potensi produksi, luasan, ragam HHBK, nilai produk, sebaran, dan pemasarannya.
  3. Dalam pengembangan tata kelola HHBK, harus ada sinergi perencanaan pada tingkat desa, kabupaten dan provinsi, yang perlu dirumuskan ke dalam dokumen perencanaan masing-masing. Pada tingkat desa, HHBK memiliki potensi penggerak perekonomian desa, oleh karena itu penting program-program yang terkait dengan HHBK dimasukkan ke dalam RPJMDes.  Pada tingkat provinsi, perlu dilakukan penambahan isu strategi ke dalam rencana daerah, sehingga memungkinkan HHBK mendapat dukungan penganggaran.
  4. Pada tingkat masyarakat, pentingnya terus dilakukan penguatan masyarakat yang bersifat teknis dalam beberapa aspek, terutama dalam hal budidaya tanaman, pengolahan produk dan pemasaran.
  5. Untuk mendukung dinamisasi pengembangan HHBK di tingkat desa, dinilai penting ada kelembagaan dan infrastruktur ekonomi  yang mendukung. Kelembagaan yang dianggap memiliki potensi kuat untuk dikembangkan adalah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Karena selain langsung bersentuhan dengan masyarakat desa, juga memiliki keterkaitan program yang saat ini melekat dengan SKPD (BPMD) dan Kementerian Desa.
  6. Pentingnya ada Road Map tentang bagaimana HHBK memiliki langkah-langkah yang sistematis untuk pengembangan ke depan. Roadmap menyangkut pengembangan HHBK dalam konteks kelola kawasan, kelola kelembagaan, kelola usaha dan dukungan penelitian.
  7. Disadari masih banyak masalah dan tantangan baik pada tataran mikro maupun makro dalam konteks pengembangan HHBK ke depan. Pada tingkat mikro misalnya masih banyaknya kasus perambahan, pemindahtanganan lahan kelola, rendahnya SDM, pada tingkat makro antara lain belum tertatatanya sistem niaga dan standarsasi produk HHBK, egosektoral urusan HHBK, dan belum munculnya HHBK sebagai mainstream pembangunan daerah. Masalah dan tantangan tersebut perlu untuk diantisipasi dan dirumuskan solusinya.
  8. Rakor saat ini menjadi rumusan penting yang akan didiskusikan lebih lanjut untuk bahan penyusunan program pembangunan melalui perencanaan daerah.  Bappeda berharap ada hal-hal positip yang bisa didiskusikan lebih teknis, sehingga HHBK bisa link dengan perencanaan di SKPD terkait.

 

Feedback
Share This: