Perempuan dan Kesempatan untuk Melangkah Maju

Anda di sini

Depan / Perempuan dan Kesempatan untuk Melangkah Maju

Perempuan dan Kesempatan untuk Melangkah Maju

Konsorsium Pembangunan Berkelanjutan NTT yang dikoordinator oleh CIS Timor dan beranggotakan 9 lembaga yaitu Yayasan Wali Ati (Yasalti), Yayasan Harapan Sumba (YHS), Satu Visi, Koppesda, Pakta, Pelita Sumba, Waimaringi dan Bengkel Appek merupakan salah satu penerima hibah pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat/ Window 2 dari Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia dan mulai beraktivitas di Pulau Sumba sejak bulan Juli 2016 dengan sasaran aktivitas di 30 desa di 4 kabupaten di pulau Sumba. Tema besar yang diangkat oleh konsorsium ini adalah “Optimasi Pengelolaan DAS Kambaniru, Karendi dan Mangamba Katewel Melalui Aksi Konservasi Lingkungan dan Peningkatan Ekonomi Berbasis Masyarakat di Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur”.

Berdasarlan Hasil kajian gender di 3 wilayah DAS yang merupakan dampingan Konsorsium Pembangunan Berkelanjutan NTT menunjukkan bahwa 87% perempuan bermata pencaharian di bidang pertanian. Dan hanya mampu mengelola lahan seluas 1-5 are (75% mampu kelola 1 - 2 are dan 25 % mampu kelola 3-5 are).  Perkembangan usaha tani perempuan pun terhambat lantaran biaya produksi yang tinggi karena ketergantungan kepada pupuk, pestisida, herbisida dan benih dari toko. Jika dilihat kembali dalam sejarahnya, petani di 3 DAS ini melakukan produksi sendiri jenis-jenis tanaman tersebut dan mengandalkna aktivitas gotong royong dibidang usaha tani. Luas lahan juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap pendapatan perempuan dimana semakin luas lahan yang digarap akan semakin besar pendapatan yang diperoleh. Dari 100 perempuan petani hortikultura, livestock dan silvikultur hanya 7% dari mereka yang pernah mendapat pelatihan tentang budidaya hortikultura dan 4% diantarnya tentang Gender dan sisanya belum pernah mendapatkan pelatihan atau bentuk peningkatan kapasitas apapun.

Untuk meningkatkan ekonomi rumah tangga miskin di 30  desa di 12 kecamatan dan mengurangi emisi gas rumah kaca melalui perbaikan pengelolaan sumber daya alam 3 wilayah  DAS  di 4 kabupaten (Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, Sumba Barat Daya), selain memperkuat kapasitas Perempuan di 30 desa di 3 DAS untuk membangunan kesadaran kritis, dan berpartisipasi aktif dalam iplementasi  program  yang didanai oleh MCA Indonesia untuk peningkatan pendapatan perempuan secara berkelanjutan, Konsorsium Pembangunan Berkelanjutan NTT melakukan kegiatan Pelatihan “Gender Mainstreaming  Dan Hak-Hak Warga Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pertanian, Peternakan Dan Sumber Ekonomi Tahap  I”  di 3 lokasi Daerah Aliran Sungai (DAS). Untuk kegiatan di kabupaten Sumba Barat Daya bertempat di Aula Hotel Sinar Tambolaka.

 

 

 

Sementara itu jika dijabarkan lebih rinci, tujuan kegiatan ini adalah meningkatkan pengetahuan dan kesadaran kritis perempuan dan kelompok rentan lainnya tentang kesetaraan, keadilan dan relasi sosial gender, dan hak-haknya dalam pengelolaan sumberdaya alam, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan-peraturan yang mendukung perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan, memetakan potensi, peran perempuan dan kelompok rentan lain serta tantangan yang dihadapi  dalam pengelolaan SDA, menyusun strategi untuk mengoptimalkan potensi dan sumberdaya dengan  merancang  kegiatan-kegiatan untuk  meningkatkan keterlibatan mereka  dalam program (agenda utama perempuan di masing-masing desa) serta meningkatkan kerjasama antar sesama perempuan sebagai agen perubahan sosial/champion di desa.

Pelatihan yang difasilitasi oleh ibu Deby Rambu Kasuatu (Consultan SGIP, KPB-NTT) dan Ibu Wiyati W.S (Badan Pengurus YWKW) yang merupakan fasilitator Lokal yang telah berpengalaman sejak tahun 1999 di dunia Community Development berlangsung sejak tanggal 24 hingga 25 April 2017 ini melibatkan 29 peserta dari 10 desa dampingan Konsorsium Pembangunan Berkelanjutan NTT di daerah das Mangamba Katewel. Peserta terdiri dari 28 peserta perempuan dan satu orang laki-laki yang datang menggantikan istrinya yang sedang sakit. Peserta diarahkan untuk lebih memahami bagaimana posisi perempuan dalam kehiduan rumah tangga dan masyarakat. Dengan memahami posisi dan memaknai perannya, diharapkan perempuan mampu melihat dan menjadi bagian dari penentu perubahan dalam keluarga atau pun lingkungan masyarakatnya.

 

 

Sejak awal kemerdekaan yang dikenal dengan orde lama hingga orde baru dan orde revormasi sekarang ini telah banyak pembangunan dilakukan walapun dengan perkembangan yang lambat. Namun pada setiap masa dapat dilihat bahwa kaum perempuan tidak diibatkan dalam berbagai bidang dan nenempatkan perempuan pada posisi yang dinomorduakan serta mengabaikan hak perempuan sebagai warga negera yang memiliki hak yang sama dengan kaum laki-laki.

Kehadiran negara sebagai pengayom dan pengatur kehidupan masyarakat diharapkan mampu menyusun berbagai kebijakan yang bisa menjangkau banyak pihak termasuk menjangkau kepentingan perempuan. Dalam hal ini negera perlu membuat dan mendaratkan kebijakan dan peraturan tentang integrasi gender dalam program.  Sejauh ini sudah ada beberapa kebijakan yang dibuat oleh negara diantaranya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor  15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan di Daerah yang diperbaharui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011.

Dalam kebudayaan sumba sendiri, pemahaman soal perempuan kadang salah diterjemahkan oleh berbagai kalangan. Dalam budaya sumba aktivitas perempuan sering divonis merupakan bagian dari ketimpangan gender padahal beberapa nilai sedang maknai oleh setiap perempuan sumba yang melakukan berbagai aktivitas dimaksud. Berbeda dengan kata wanita yang berasal dari kata wani ditoto dalam bahasa jawa yang diartikan dengan ‘berani diatur’, perempuan berasal dari kata per – empu –an yang berarti ‘Per’ memiliki makna ‘makluk’ dan ‘empu’ artinya ‘mulia’, ‘tuan’, atau ‘mahir’ dalam bahasa sansekerta. Penempatan posisi perempuan dalam budaya sumba pun tidak jauh berbeda dengan arti kata dalam bahasa sansekerta tersebut. Seorang istri dalam budaya sumba dianggap sebagai ihi umma atau isi rumah. Dalam hal ini, apa pun yang ada di rumah, baik itu kekayaan berupa emas, peralatan mewah dan sebagainya tidak ada artinya jika tidak dalam rumah tersebut tidak ada seorang perempuan yang disebut istri. Kebanggaan seorang laki-laki sumba terhadap istrinya tergambar dari cara ia memperlakukan istrinya. Karena itu dalam konteks kesumbaan, perlu dipahami bahwa rumah tangga akan sejahtera jika perempuannya berdaya dalam mengelola sumberdaya.

Gender Dan Berbagai Ketimpangannya
Bicara soal gender tentu saja bukan persoalan perempuan dan laki-laki yang dilihat dari tampilan fisik seperti laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki wagina atau laki-laki tidak memiliki rahim dan perempuan memiliki rahim. Bicara soal gender adalah bicara soal pembagian peran, posisi, ciri-ciri dan sifat yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki yang sewaktu-waktu bisa berubah dalam kehidupan masyarakat.  
Perjuangan untuk kesetaraan gender makin gencar dilakukan oleh orang-orang yang peduli dengan berbagai persoalan gender. Hal ini disebabkan dalam banyak aspek kehidupan kita berhubungan erat dengan gender. Selain itu masih kurang kesadaran bahwa sesunguhnya banyak terjadi masalah gender dalam kehidupan sehari-hari baik dalam rumah tangga, masyarakat dan negara.

 

 

Ada banyak ketimpangan atau masalah gender yang sering kita temui dalam masyarakat diantaranya kekerasan, stereotip atau cap-capan atau pelabelan, beban ganda, dinomorduakan. Kekerasan terhadap perempuan sudah tidak asing lagi. hampir setiap hari pemberitaan tentang kekerasan terhadap perempuan didengar, baik itu dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga atau pun bentuk kriminalisasi lain seperti permerkosaan dan sebagainya. Perempuan yang dianggap lemah dan bodoh telah menjadi pelabelan yang telah berlangsung sejak dahulu dan membatasi ruang gerak perempuan. Beban ganda karena terlalu banyak aktivitas yang diberikan misalnya seorang perempuan yang mengurus urusan rumah tangga tanpa bantuan suaminya sekaligus bekerja membantu ekonomi keluarga. Beban ganda berasal dari aktivitas yang tidak seimbang tersebut pada akhirnya membuat urusan domestik, produktif dan sosial menjadi tidak maksimal. Demikian pula dengan hal menomorduakan perempuan, sering sekali kita temui bahwa laki-laki menjadi yang utama dan paling penting dalam kehidupan masyarakat. Contoh konkritnya dapat ditemukan dalam urusan menyekolahkan anak dimana anak laki-laki lebih diutamakan untuk disekolahkan setinggi-tingginya sementara perempuan dinomorduakan.
Ketimpangan sosial yang terjadi sering kali menempatkan perempuan pada posisi yang dirugikan meski beberapa kasus tertentu laki-laki juga dirugikan, karena itulah ketimpangan sosial yang banyak terjadi masyarakat perlu untuk diatasi.

 

Perencanaan Kelompok Swadaya Masyakat Berwawasan Gender
Permasalahan gender perlu diatasi dengan memastikan kesetaraan akses dan kesempatan terhadap kelompok-kelompok yang rentan terhadap proyek dan manfaatnya. Karena itu perlu adanya partsipasi aktif dari kelompok-kelopmpok tersebut dalam melakukan konsultasi dan mengambil keputusan yang ada dalam sebuah desain proyek dan implementasinya untuk menghindar dari berbagai ketimpangan gender setelah proyek tersebut dilakukan dalam kelompok bermasyarakat termasuk mencegah adanya eksploitasi pekerja anak atau beban ganda yang dirasakan perempuan. Melalui partsipasi perempuan dalam proses desain program dan implementasinya diharapkan dapat meminimalisr resiko terjadinya ketimpangan gender dan memaksimalkan potensi yang ada untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Pemberian akses dan partisipasi perempuan yang setara pada kegiatan dan program Pengelolaan Sumber Daya Alam  di 3 Wilayah  DAS khususnya pada strata sosial terendah, miskin, penganut kepercayaan tradisi (marapu) harus mampu meningkatkan kemapuan perempuan serta memberikan kemandirian ekonomi terhadap perempuan tersebut.

 

 

Untuk mewujudkan tujuan program yang didesain maka perlu dilakukan perencanaan kelompok yang berwawasan gender. Alur perencanaan ideal dalam proses kegiatan pengembangan masyarakat adalah orientasi, persiapan sosial, pengorgaisasian kelompok, perencanaan program, pelaksanaan usaha/kegiatan bersama serta pemantauan dan penilaian (monitoring dan evaluasi) dan issu gender perlu dimasukkan dalam setiap alur perencanaan tersebut. Apabila setelah evaluasi diketahui bahwa kegiatan yang dilakukan mengalami kegagalan maka perlu dilakukan orientasi kembali dan melakukan ulang semua tahapan dalam alur tersebut untuk kegiatan yang sama. Apabila berhasil, maka perlu dilakukan kembali semua alur namun untuk kegiatan yang berbeda.

Dari penjelasan yang disampaikan peserta lalu dibagi mejadi 3 kelompok berdasarkan tiga fokus konsentrasi yang diusung oleh Konsorsium Pembangunan Berkelanjutan untuk membahas perencanaan kegiatan di masing-masing kelompok dampingan. Seluruh aktifitas yang dilakukan harus setara dan tidak membebani satu pihak. Keseimbangan peran dan beban kerja antara laki-laki dan perempuan menjadi hal utama dalam penyusunan rencana sebab membebani satu pihak saja hanya akan membuat hasil yang dicapai tidak maksimal baik dari segi kualitas mau pun kuantitasnya.
Menjadikan perempuan sadar akan esensi dan eksistensi dirinya sendiri akan menjadikan perempuan tersebut lebih percaya diri untuk terlibat dalam berbagai hal termasuk menjadi bagian dari penentu kebijakan yang berimbas pada kehidupan yang lebih baik. **

Feedback
Share This: