Penggiat Ekowisata Lombok Utara Bertandang ke Wilayah Kerja RMI-Gema Alam

Anda di sini

Depan / Penggiat Ekowisata Lombok Utara Bertandang ke Wilayah Kerja RMI-Gema Alam

Penggiat Ekowisata Lombok Utara Bertandang ke Wilayah Kerja RMI-Gema Alam

Pringgasela selatan merupakan sebuah desa baru yang terbentuk dari hasil pemekaran Desa Pringgasela Induk pada tahun 2008. Sejak zaman dahulu Desa Pringgasela dikenal sebagai sentra pengrajin tenun. Tenun di Pringgasela sudah ada sejak abad ke 14 M. Menurut penuturan para penenun dan hingga saat ini kegiatan menenun masih lestari, bahkan tenun juga dijadikan sebagai mata pencaharian bagi masyarakat. Konon, tenun diperkenalkan di Pringgasela oleh seseorang yang bernama Lebai Nursini. Lebai Nursini juga dikenal sebagai tokoh penyebar Agama Islam yang berasal dari Pulau Sulawesi.
Berangkat dari sejarah kain tenun ini, berbagai macam kelompok pemerhati budaya dituntut untuk terus menjaga dan memelihara warisan leluhur. Di antara kelompok pemerhati budaya tersebut, ada Rimbawan Muda Indonesia (RMI) dan Gerakan Masyarakat Cinta Alam (Gema Alam) yang berupaya untuk terus melestarikan warisan leluhur tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan oleh RMI dan Gema Alam yaitu mulai memberdayakan masyarakat penenun yang berjumlah 23 orang dari total jumlah 354 penenun untuk dibuatkan wadah dalam bentuk kelompok.  Para penenun ini mulai diajarkan tentang bagaimana cara manajemen kelompok, keuangan dan strategi bisnis. Tujuannya tidak lain untuk memperkuat perekonomian masyarakat. Para penenun yang ada di Lombok memang banyak tapi tidak terorganisir sehingga ketika hasil produksi melimpah seringkali para penenun tidak tau kemana barangnya akan dijual, dan seringkali tengkulak sebagai jawaban dari ketidaktahuan tersebut. Para tengkulak (Pengepul) menghargai hasil karya para penenun jauh dari harga yang sepantasnya. Para penenun mau tidak mau harus menjual barang yang dihasilkan, karena terdesak kebutuhan ekonomi, baik yang menyangkut rumah tangga maupun yang lainnya. Melihat kondisi ini, perempuan-perempuan yang tergabung dalam kelompok penenun terus mengikuti dampingan yang diberikan oleh RMI dan Gema Alam, hingga akhirnya tercipta ruang bagi para penenun untuk menjajakan hasil karyanya, yaitu “Bale Tenun” yang merupakan wadah sebagai galeri penyimpanan dan penjualan langsung hasil tenun. Bale/Rumah Tenun ini berdiri sejak awal 2016 melalui kesepahaman para anggota kelompok untuk membentuk wadah. Para anggota kelompok memiliki hak untuk menyalurkan hasil tenunnya. Selain itu, berdirinya bale tenun ini disinergiskan dengan koperasi hijau yang sudah lama dibentuk oleh Gema Alam sebagai tempat penyaularan dan media promosi.


Beranjak dari hal tersebut, para pihak mulai tertarik untuk mempelajari metode yang dilakukan oleh kelompok yang diberi nama “Nine Tenun” ini. Rasa penasaran datang dari para penggiat ekowisata dan pemerhati wisata yang ada di Lombok Utara dalam hal ini hadir pengelola Ekowista Kakong Desa Bentek Kecamatan Gangga, Ekowisata Desa Kerujuk, Kec. Pemenang dan Ekowisata Desa Sire. Hari Jum’at tanggal 25 Agustus 2017 menjadi hari kunjungan rombongan yang didampingi langsung oleh Bappeda Lombok Utara, dalam hal ini Kabid Ekonomi, Pak Putu Hery. Namun sebelum menuju lokasi tenun, Beliau bersama rombongan, menyempatkan diri untuk merasakan suasana ekowisata yang berada di Desa Suela. Kedatangan Pak Putu Hery disambut baik oleh masyarakat Desa Suela. Bahkan tanpa arahan, para kelompok masyarakat langsung membuka diskusi dengan antusias.
Dalam diskusi tersebut, Pak Putu Hery berusaha mencari informasi terkait bagaimana manajemen kelompok penenun Desa Pringgasela Selatan yang terintegrasi oleh konsep ekowisata di beberapa desa yang menjadi dampingan RMI-Gema Alam. Kehangatan diskusi tersebut sempat ditunda karena para peserta diskusi harus melaksanakan Shalat Jum’at. Setelah Shalat Jum’at, para rombongan dibawa menuju salah satu fasilitas ekowisata berupa homestay. Homestay milik masyarakat yang terjaring dalam kelompok binaan RMI dan Gema Alam diperkenalkan langsung oleh Ibu Nia Ramdhaniaty yang akrab dipanggil “Teh Nia” selaku Penanggung Jawab proyek yang didanai oleh MCA Indonesia. Teh Nia mulai menceritakan awal mula terbentuknya homestay. Menurutnya, homestay ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan para tamu yang akan menginap di ekowisata yang kini mulai dibangun.
Tak lama setelah selesai perbincangan dengan Teh Nia dan pemilik homestay, rombongan yang didampingi oleh Bappeda Lombok Utara tersebut akhirnya berangkat menuju tujuan utama perjalanan hari itu yaitu ke daerah sentra kain tenun Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela. Kedatangan rombongan disambut dengan kemeriahan bunyi-bunyian khas yang bersumber dari aktivitas para masyarakat yang tengah merajut kain tenun dengan alat tradisional yang terbuat dari kayu. Para rombongan menyempatkan diri sesekali menghampir para ibu-ibu yang sedang menenun. Ada yang unik, para ibu-ibu sedang memilih pewarna alami yang akan digunakan sebagai mewarnai benang yang akan ditenun. Tanpa canggung Inaq Rosi (Penenun) menceritakan tanaman yang digunakan sebagai pewarna alami, walapun si inaq menggunakan bahasa Sasak lengkap dengan logat khas Pringgasela Selatan. Tanaman yang biasa digunakan oleh masyarakat sebagai pewarna diantanya tarum, batang mahoni,  batang pohon nangka dan beberapa jenis tanaman lainnya.


Tujuan utama para penggiat ekowisata berbasis masyarakat ini berkunjung ke daerah Pringgasela Selatan seperti yang disampaikan oleh Pak Putu Hary adalah untuk melihat langsung sistem pengelolaan kelompok penenun yang berbasis masyarakat. “Sebenarnya Lombok Utara terutama di daerah Bayan banyak para penenun, akan tetapi hanya sebatas membuat tenun kemudian dijual begitu saja” ungkap mas Panji selaku anggota rombongan. Di tambahkan lagi oleh mas Panji yang juga sebagai pendamping bagi para penggiat ekowisata yang di Lombok Utara mengatakan “pemberdayaan tenun yang dikemas sebagai potensi wisata merupakan potensi yang begitu besar”. Harapan para rombongan setelah melihat dan mendapatkan gambaran dari masyarakat Pringgasela Selatan, para penenun diharapkan tidak sebatas menghasilkan sebuah karya tapi juga menjadi agen yang aktif menjelaskan baik itu sejarah hingga tata cara membuat tenun itu sendiri, karena banyak dari para wisatawan luar negeri yang ingin tau cara menenun dan terlibat langsung dalam proses pembuatan. Dan terakhir kunjungan ditambahkan oleh pak Putu Hary bahwa masyarakat harus diberdayakan supaya masyarakat sebagai pemilik asset tidak kalah dengan para pemodal.

 

Feedback
Share This: