Pemanfaatan dan Pelestarian Gambut di Indonesia

Anda di sini

Depan / Pemanfaatan dan Pelestarian Gambut di Indonesia

Pemanfaatan dan Pelestarian Gambut di Indonesia

Tahun 2015, bencana kebakaran hutan besar melanda Indonesia. Diprediksi sekitar 2,3 juta hektar lahan terbakar, sebagian besarnya adalah lahan gambut. Kerugian diperkirakan mencapai USD 16M. Selama berminggu-minggu, kegiatan ekonomi di beberapa daerah nyaris terhenti. Bandara tidak beroperasi, sekolah ditutup, pasar tidak berfungsi, kegiatan warga terhenti. Semua karena kabut asap akibat kebakaran hutan tersebut. Wabah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) menjangkiti ribuan orang, beberapa malah meregang nyawa. Di lokasi kebakaran sendiri, beberapa petugas maupun warga menjadi korban jiwa. Belum lagi hilangnya aneka ragam hayati di lokasi kebakaran.
Di tingkat regional, kebakaran besar ini juga memanaskan hubungan diplomatik Indonesia dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Asap akibat kebakaran hutan juga menyulitkan penduduk dua negara tetangga itu.
Bencana nasional di tahun 2015 itu direspon oleh pemerintah pusat. Tanggal 6 Januari 2016, lewat Keputusan Presiden No.1/2016 Pemerintah Indonesia membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG), sebuah organisasi non struktural yang diserahi tanggung jawab untuk merestorasi 2,4 juta hektar lahan gambut di tujuh provinsi.
Langkah ini selain untuk menghindari hadirnya kembali kebakaran hutan masif seperti yang terjadi di tahun 2015, juga sekaligus untuk mengembalikan fungsi utama lahan gambut yang ada di Indonesia.
Indonesia tercatat sebagai pemilik lahan gambut terluas di wilayah tropis atau terluas keempat di seluruh dunia. Menurut prediksi, lahan gambut di Indonesia mencapai total 14.9 juta hektar yang tersebar di tiga pulau besar: Sumatera, Kalimantan dan Papua. Bila ditambahkan dengan luas lahan gambut yang lebih kecil di pulau-pulau lainnya, maka totalnya bisa mencapai 15 juta hektar lebih.
BRG yang dibentuk awal tahun 2016 hanya punya waktu hingga 2020 untuk merestorasi 2,4 juta lahan gambut sesuai target mereka. Untuk mencapai target tersebut, BRG membuka kesempatan dan mengajak berbagai pihak untuk bekerja bersama.
Upaya bersama menjaga dan memanfaatkan lahan gambut dengan bijaksana menjadi topik yang diangkat dalam Pertemuan Kepala BAPPEDA Provinsi Wilayah Kerja MCA-Indonesia yang diadakan di Jakarta, Selasa 14 Maret 2017.  Sebanyak 4 perwakilan BAPPEDA Provinsi, BRG, BAPPENAS dan beberapa mitra yang sedang melaksanakan program restorasi lahan gambut bertemu di Ruang Banda Hotel Borobudur.


Perwakilan BAPPEDA tersebut berasal dari Provinsi Jambi, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Selain itu turut hadir dan memberi pemaparan Dr. Ir. Gellwyn Daniel Hamzah Jusuf, M.Sc, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam BAPPENAS, Bapak Noviar, Kepala Kelompok Kerja Perencanaan BRG; serta Pungky Widi Arianto, Shut, MSc, PLT Kasubid Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Salah satu agenda utama dalam pertemuan ini adalah diseminasi policy brief mengenai Kebijakan Pengelolaan Gambut yang telah dihasilkan oleh Konsorsium Petuah Universitas Sriwijaya Palembang dan Universitas Pertanian Bogor (IPB). Beberapa mitra kerja MCA-Indonesia yang fokus pada pengelolaan dan restorasi gambut juga turut ambil bagian dalam Pertemuan ini. Mereka adalahWWF Rimba, Mitra Aksi, Konsorsium Euroconsult Mott McDonald, Perkumpulan Gita Buana, WARSI dan Yayasan Dian Tama.

Strategi Pengelolaan, Pelestarian, dan Restorasi Gambut
Sesi pertama diskusi mengangkat mengenai strategi pengelolaan, pelestarian dan restorasi gambut dalam perencanaan pembangunan. Dalam diskusi juga diulas beberapa tantangan penerapan kebijakan perlindungan dan pengelolaan gambut beserta rekomendasi solusi yang ditawarkan dalam bentuk policy brief yang ditulis oleh Dr. Ir. Baba Barus dan Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, MSc. dari Konsorsium Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau (PETUAH) - Center for Sustainability Science, IPB Bogor.
Menurut Baba Barus, saat ini terdapat sejumlah aktivitas perusahaan dan masyarakat di lahan gambut yang perlu ditinjau serius. Pelanggaran aturan dan perizinan saat ini telah menjadi perhatian utama pemerintah. Selain itu perlu ditinjau kembali beberapa kebijakan yang terkait pembukaan lahan dan perizinan. Berbagai keterbatasan perlu disikapi dengan membuat variasi kebijakan yang mendukung percepatan metode inventarisasi lahan gambut dan upaya pencarian metoda pengelolaan gambut yang mendukung kelestarian namun tetap dapat memberi manfaat bagi masyarakat yang bermukim di sana.
Dalam Policy Brief berjudul Ulasan Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut juga direkomendasikan untuk mengembangkan kebijakan yang mendukung pemberian insentif bagi usaha-usaha yang sesuai dan mendukung pemanfaatan lestari dan pelestarian ekosistem gambut. Secara keseluruhan diusulkan juga untuk membuat program aksi yang membagi pencapaian target jangka pendek, menengah, dan panjang.


Sementara itu Achmad Aditya, Partnership Grant Manager MCA-Indonesia memaparkan dukungan MCA-Indonesia terhadap program restorasi gambut dalam bingkai kerjasama dengan BRG. Dalam dukungan tersebut, MCA-Indonesia melakukan tiga hal, yaitu: peningkatan kapasitas, manajemen pengetahuan dan pelaksanaan teknis restorasi lahan gambut. Achmad Aditya juga menggarisbawahi pentingnya pendampingan di sektor ekonomi dan sosial bagi warga di areal lahan gambut. Langkah ini, menurut Achmad Aditya dapat menjadi cara yang paling efektif dalam mendorong warga menjadi mitra dalam berbagai upaya merestorasi lahan gambut.
Di sesi pertama ini, diskusi yang muncul adalah tentang kebijakan. Agus Sanusi, PLT Kepala BAPPEDA Provinsi Jambi, membagikan pengalaman dan memberikan saran untuk usaha restorasi lahan gambut. Menurut Agus Sanusi, Jambi adalah salah satu provinsi yang paling terkena dampak kebakaran hutan tahun 2015 lalu. Pertumbuhan ekonomi Jambi menurun drastis selama masa kebakaran, dan gangguan kesehatan menghantui warga provinsi Jambi.
Terkait upaya restorasi lahan gambut di Jambi, Agus Sanusi juga menyoroti perihal koordinasi antara beberapa pihak yang menurutnya perlu dioptimalkan dimana BAPPEDA perlu dilibatkan secara penuh dalam rencana restorasi tersebut.
Gagasan untuk mengoptimalkan koordinasi daerah terkait restorasi gambut juga diamini oleh Ketua Tim Restorasi Gambut Daerah Jambi (TRGD), Dr. Ardi. Koordinasi antarpihak memang masih menjadi pekerjaan rumah bagi BRG dan TRGD. Sinkronisasi kegiatan dan komunikasi antar pihak di daerah perlu senantiasa diupayakan dan diperlihara dengan baik.

Restorasi Gambut Berbasis Sains dan Masyarakat
Sesi kedua Pertemuan Kepala BAPPEDA Provinsi Wilayah Kerja MCA-Indonesia mengangkat berbagai inisiatif dan gagasan seputar upaya restorasi gambut berbasis sains dan masyarakat. Diskusi ini mengangkat beberapa rekomendasi dalam upaya pencegahan kebakaran di lahan gambut dan beberapa metoda pertanian yang dapat mendukung pemanfaatan lestari lahan gambut.
Dalam Policy Brief yang berjudul Strategi Revegetasi dengan Spesies Indigen dalam Konteks 3R Aksi Restorasi Lahan Gambut yang ditulis oleh Prof. Rujito Agus Suwignyo, Dr. Munandar, dan Dr. Bastoni dari Konsorsium Perguruan Tinggi untuk Indonesia Hijau (PETUAH) CoE Peatland Conservation and Productivity Improvement (PLACE) Universitas Sriwijaya, direkomendasikan agar kegiatan restorasi lahan gambut yang berbasis vegetasi dapat memerhatikan kondisi ekosistem yang ada pada saat ini dengan mengutamakan penanaman tanaman pangan dan tahan kebakaran lahan.
Prof. Rujito dalam pemaparannya mengingatkan bahwa strategi revegetasi pada lahan gambut juga perlu memerhatikan konteks budaya lokal. Salah satu contoh sukses yang ditawarkan adalah budidaya sonor++ yang dipraktikkan sebagian besar petani di Sumatera Selatan. Selain itu strategi revegetasi pada lahan gambut terdegradasi juga perlu terintegrasi dengan upaya pencegahan kebakaran lahan sambil terus menggerakkan semua potensi yang ada agar upaya restorasi juga tetap dapat memerhatikan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di atas lahan gambut.


Selain Prof. Rujito, hadir pula Zainuddin dari WWF Rimba dan Taufik Hidayat dari Perkumpulan Gita Buana. Baik WWF Rimba maupun Gita Buana sama-sama mengakui bahwa usaha restorasi lahan gambut mereka tidak hanya fokus di infrastuktur saja. Keduanya memaparkan usaha untuk melibatkan warga sekitar, termasuk mengembangkan sisi ekonomi warga secara berkelanjutan tanpa merusak alam.
Untuk menjamin keberlanjutan program restorasi lahan gambut tersebut, WWF Rimba sendiri terus melakukan pelatihan pada warga sekitar lahan rencana restorasi. Harapannya, ketika program WWF Rimba sudah selesai, warga bisa mengambil alih usaha menjaga lahan gambut tersebut.
Dalam sesi diskusi ini, perwakilan BAPPEDA Provinsi Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan masing-masing ikut urun rembug. Mereka memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi terkait upaya pemanfaatan dan restorasi lahan gambut di daerah masing-masing. Koordinasi dan sinergi kegiatan antar Satuan Kerja Pemerintah Daerah dengan berbagai Badan dan lembaga adalah isu umum yang dihadapi di setiap provinsi. Upaya untuk terus meningkatkan komunikasi dan sinergi program, terutama dengan Badan Restorasi Gambut dan Tim Restorasi Gambut Daerah menjadi kebutuhan yang dalam diskusi ini dinilai sebagai kunci keberhasilan upaya restorasi gambut di daerah.

Feedback
Share This: