Membangun Asa Untuk Masa Depan Pertanian Selaras Alam yang Berkelanjutan di Sumba

Anda di sini

Depan / Membangun Asa Untuk Masa Depan Pertanian Selaras Alam yang Berkelanjutan di Sumba

Membangun Asa Untuk Masa Depan Pertanian Selaras Alam yang Berkelanjutan di Sumba

Pulau Sumba dengan luas 11.040.00 km2 terdiri dari daratan 10.710 Km2  atau 23.30% dari luas NTT dengan wilayah laut 103.400 ha dan memiliki 130 buah daerah aliran sungai (DAS) (data wilayah sungai Sumba tahun 2014). Sumba terdiri dari empat (4) kabupaten:Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya, saat ini dihuni oleh 760.466 jiwa penduduk yang terdiri dari 391.107 laki-laki dan 369.359 perempuan dan 29,2% diantaranya tergolong miskin. Berdasarkan kelompok umur sebagian besar yakni 45% penduduk di pulau ini tergolong usia non produktif dimana umur 0-14 tahun sebesar 41%, umur 15-65 tahun sebesar 55% dan umur 66-75 tahun sebesar 4%. Dengan rasio beban tanggungan sebesar 100, yakni setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung 100 orang penduduk usia non produktif. 

 

Dengan pertumbuhan rata-rata PDB sebesar 2,36% empat kabupaten di pulau Sumba ini tergolong lebih miskin dibandingkan kabupaten-kabupaten lain di propinsi NTT yang PDB lebih besar. Sektor pertanian adalah sektor yang memberikan kontribusi terbesar yakni sebesar 18,77% (BPS, 2013). Walaupun perkembangan sektor pertanian mengalami pasang surut, namun kenyataannya sektor ini masih diandalkan untuk mendorong pertumbuhan perekonomian daerah. Potensi yang cukup besar masih dapat digali di sektor ini, baik berupa ketersediaan sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Sektor pertanian ini juga menyerap tenaga kerja yang cukup besar hampir sekitar 75%. 

Namun realita yang terjadi degradasi lingkungan di Sumba hari ini juga disumbang oleh sektor pertanian. Penggunaan bahan–bahan kimiawi dalam sektor pertanian menyebabkan kualitas tanah menurun, air tercemar, produksi menurun dan lainnya. Tentu hal ini mengancam keberlanjutan sektor pertanian di Sumba. Salah satu upaya untuk mengatasinya adalah dengan membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya mengembangkan sektor pertanian yang selaras alam.

Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah dengan adanya Proyek hibah Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat (PSDABM) yang di kelola oleh Konsorsium Pembangunan Berkelanjutan – NTT (KPB-NTT) CIS TIMOR dengan dukungan MCA-Indonesia yang telah di jalankan di pulau Sumba  sejak bulan Juli 2016. 

Pendekatan pertanian selearas alam yang dibangun dan dipraktekkan di masyarakat selama periode program ini mengusahakan banyak hal yang dilakukan oleh petani untuk menjamin keberlangsung sektor pertanian. Salah satunya dengan peralihan bahan–bahan sintesis dalam pertanian ke penggunaan bahan–bahan organik baik itu pupuk, obat–obatan, bahkan bahan dan alat yang lebih ramah terhadap lingkungan. Imbas dari peralihan tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat baik dari sisi lingkungan maupun ekonomi yang mengalami perubahan semakin baik. Perubahan–perubahan tersebut merupakan inspirasi yang patut disebarkan di pulau Sumba.

 

 

Dalam rangka mendokumentasikan best practices dan success story pada program  Optimasi Pengelolaan DAS Kambaniru, Karendi, Dan Mangamba Katewel Melalui Aksi Konservasi Lingkungan Dan Peningkatan Ekonomi Berbasis Masyarakat Di Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya,Provinsi  Nusa Tenggara Timur, diperlukan sebuah ruang untuk berbagi pengetahuan yang dimiliki baik itu petani penerima manfaat, pemerintah desa dan stake holder lainnya.

Pada tanggal 10-11 November 2017 bertempat di Hotel Padadita Beach Waingapu, KPB NTT melaksanakan Workshop Pengelolaan Pengetahuan dengan tema “Membangun Asa Untuk Masa Depan Pertanian Selaras Alam Yang Berkelanjutan di Sumba”. Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 40 peserta yang merupakan perwakilan dari 10 desa/kelurahan lokasi program di wilayah DAS Kambaniru dan difasilitasi oleh Ibu Ana Djukana, Bapak Danny Wetangterah, Bapak Vincent Bureni selaku Knowledge Management Expert.

 

 

 

Ragam Pengetahuan Untuk Pertanian Selaras Alam Yang Berkelanjutan

Hal menonjol yang dibicarakan oleh peserta sebagai hasil dari pengetahuan baru yang didapat lewat program adalah terkait ketrampilan untuk membuat pupuk bokasi padat dan cair, ketrampilan membuat pestisida organik juga mikroorganisme lokal (MOL). Untuk pembuatan pupuk bokasi padat dan cair sendiri maupun pestisida organik dan MOL hasilnya dimanfaatkan baik oleh kelompok hortikultur, silvikultur maupun pakan ternak. Tentu saja dengan kemampuan untuk memproduksi pupuk dan pestisida organik sendiri, para petani terbantu untuk mengurangi biaya produksinya sambil bisa ikut menjaga keselarasan alam.

MOL adalah hasil fermentasi mikroorganisme yang bersumber dari bahan tertentu yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman. Sebagai contoh mikroorganisme dari sampah dapur, rumen sapi, rumen kambing, bonggol pisang, nasi, sayuran dan buah-buahan. Kandungan dan jenis mikroorganisme dalam MOL tergantung dari bahan pembuatnya dan masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, tetapi pada prinsipnya kandungannya hampir sama dengan EM4 (Effective Microorganisms-4).

Tujuan membuat MOL yaitu untuk mengembangkan biang penghancur bahan organik (dekomposer) serta menambah aktivasi tumbuhan dan tambahan nutrisi bagi tanaman. MOL ini diproduksi dengan proses yang selaras dengan ekosistem lokal/setempat (dalam hal ini selaras dengan ekologi Sumba). Pemanfaatan mikroorganisme lokal merupakan pilihan yang tepat dalam berusahatani yang berkelanjutan serta ramah lingkungan, prosesnya juga dapat dilakukan sendiri oleh petani dengan biaya yang murah sehingga diharapkan dengan penerapan teknologi ini dapat mengatasi masalah permodalan untuk usaha tani. 
Sedangkan bokasi merupakan satu istilah yang diberikan pada konsep pupuknisasi atau pemberian nilai pupuk pada media limbah tanaman dan hewan untuk kebutuhan kesuburan tanah bagi pertumbuhan tanaman yang ideal. Bokasi sangat diperlukan pada tanah pertanian yang kurang kesuburannya serta pada areal pertanian sempit atau intensifikasi. Pengunaan pupuk bokasi menjadi bagian dari praktik pertanian alami sebagai salah satu strategi adaptasi perubahan iklim.

 

 

Menurut Ibu Lian salah satu peserta dari  Desa Maulumbi yang terlibat dalam kelompok pakan ternak lewat pengembangan ubi jalan ungu dengan sistem irigasi tetes dan lamtoro taramba, ada banyak hal yang dipelajari ketika program dari KPB NTT masuk kedesanya. Salah satunya terkait pakan ternak. “Dahulu ternak babi, makanannya kami beli dari toko tetapi sekarang kami siapkan sendiri. Selain menghemat uang, kami juga hemat waktu karena tidak perlu jalan jauh untuk mencari makanan babi tetapi ternak kami itu terjamin kesehatannya. Waktu kami juga jadi lebih banyak untuk kegiatan produktif lainnya” ungkapnya sambil tersenyum.

Ternak babi, merupakan salah satu komoditi/pemain pada rantai pasar ternak di Pulau Sumba, karena untuk memenuhi kebutuhan pasar hampir 50% babi harus didatangkan dari luar Sumba sehingga harganya menjadi sangat tinggi. Ubi jalar merupakan jenis ubi yang sudah dikenal sejak lama dan merupakan salah satu sumber pangan di NTT. Dari segi budaya tanaman, ini merupakan bagian dari kehidupan petani di lahan kering. Tanaman ini menyumbang karbohidrat, vitamin yang bersumber dari umbi maupun daunnya. Ubi ini mampu bertahan di daerah dengan curah hujan yang sangat rendah dan tingkat kesuburan tanah yang tidak terlalu tinggi. Ubi jalar ungu dipilih untuk dikembangkan sebagai pakan ternak karena ubi ini tidak merayap seperti lazimnya ubi jalar yang ditanam selama ini. Umbinya hanya berada pada pangkal akar sehingga dapat dikembangkan di lahan sempit dimana setiap tanaman dapat menghasilkan umbi 1-2 kilogram  dengan umur panen 120-150 hari setelah tanam.

 

 

Dari kelompok bank pohon, Bapak Yunus menceritakan bahwa ada banyak informasi baru yang diperoleh lewat program ini, khususnya tentang tanaman sengon, mulai dari cara tanam sampai pengelolaannya. “Saya belum pernah dengar sama sekali tentang sengon, saya coba-coba tanam saja dan saat ini benih sengon yang disemai sudah tumbuh dan siap dipindahkan ke polybag” jelasnya penuh semangat.
Sengon (Albizia Falcataria) adalah salah satu tanaman pohon dari jenis keluarga leguminosa yang mempunyai kemampuan tumbuh subur di berbagai jenis tanah serta fleksibel dengan iklim dan perubahan iklim. Dari berbagai pengalaman, ditemukan bahwa tanaman sengon merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat memberikan dampak positif bagi penyedia kayu untuk bahan industri bagunan dan kertas. Hampir seluruh bagian dari sengon ini berguna. Sengon sudah dapat dipanen dan berguna sejak berumur 6 bulan setelah ditanam sampai usia 8 tahun dapat ditebang untuk kebutuhan bahan bangunan dan industri kertas. Sengon pada umur 5-6 tahun sudah dapat ditebang, untuk kebutuhan bahan bangunan, bahan kemasan serta mebeleur. Tanaman ini memiliki daya tumbuh yang cepat dibanding tanaman hutan yang lain.

 

Merujuk pada alat yang digunakan oleh fasilitator untuk melihat perubahan apa saja yang terjadi selama intervensi program oleh KPB NTT di DAS Kambaniru, maka paling tidak ada 7 indikator yang dilihat yaitu: perubahan pada praktek berkelompok karena bertambahnya pengetahuan; tingkat kepercayaan untuk proses pengambilan keputusan, hasil program; tingkat kepercayaan pemerintah desa kepada kelompok; menemukan inovasi, ide dan solusi baru; kebijakan pihak lain yang melibatkan kelompok; hal-hal positif yang muncul dari dinamika kelompok.

Dalam menghasilkan semua perubahan diatas  KPB NTT tidak bekerja sendiri, ada berbagai pihak yang ikut membantu seperti Pemerintah Desa/Kelurahan sampai Kabupaten. Di beberapa wilayah program misalnya telah tercatat bahwa untuk kelompok hortikultura telah ada bantuan dari desa berupa handtractor, handsprayer, alat potong rumput, benih, mesin pompa air saat musim kemarau. Untuk kelompok silvilultur, bantuan berupa pengadaan tanaman umur panjang melalui ADD (alokasi dana desa) dan koordinasi dengan dinas terkait, menghimbau masyarakat untuk mengkadangkan ternak, Peraturan Desa (Perdes) tentang penertiban ternak,  Perdes tentang larangan pembakaran hutan. Bahkan ada desa yang mengusulkan untuk pembuatan Perdes terkait keberlanjutan setiap program yang masuk ke desa. 

 

 

Sementara itu KPB NTT juga berharap agar desa bisa menjadikan kegiatan pengembangan pakan ternak, hortikultura dan silvikultur ini  menjadi unit usaha sendiri di BUMDES (Badan Usaha Milik Desa), sehingga jaringan pemasaran dan kelembangaan usaha ini mejadi lebih kuat demi kesejahteraan petani sendiri. Tentu saja enam belas bulan merupakan waku yang sangat singkat untuk melihat hasil dari sebuah intervensi, namun hal-hal kecil yang telah dihasilkan haruslah juga diapresiasi sebagai asset yang akan terus dikelola untuk mengasilkan hal-hal besar di hari-hari selanjutnya karena komitmen petanipun untuk terus menyebarluaskan pengetahuan yang telah diperolehnya, juga dapat menjadi pintu bagi keberlanjutan pengetahuan itu sendiri.**

Feedback
Share This: