MCA Indonesia Kembangkan Proyek Biogas di Sejumlah Daerah
Jakarta - Millenium Challenge Account-Indonesia (MCA Indonesia), melalui Hibah Kemitraan Kemakmuran Hijau, bermitra dengan Konsorsium Hivos untuk proyek “Investing in Renewable Energy for Rural, Remote Communities (Berinvestasi pada Energi Terbarukan untuk Masyarakat Pedesaan dan Terpencil)”, mengembangkan proyek biogas bagi masyarakat di sejumlah daerah.
Proyek ini dibangun berdasarkan Sumba Iconic Island dan program Biogas Rumah yang telah dilaksanakan Hivos sejak 2009. Lokasi proyeknya ada di NTB (Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok Utara), NTT (Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Sumba Barat), dan Sulawesi Selatan (Luwu Utara, Luwu Timur).
Menurut siaran pers yang diterima Investor Daily, Sabtu (23/7), program Biogas Rumah adalah praktik penggunaan reaktor biogas sebagai sumber energi lokal. Tak hanya menuai gas sebagai sumber energi rumah tangga, penerima program juga mendapat manfaat ampas biogas (bio-slurry) atau pupuk organik siap pakai.
“Selain dipakai sendiri, pupuk organik ini laris dipesan karena sudah terbukti memperbaiki kualitas tanah yang sebelumnya sudah sempat rusak akibat penggunaan pupuk kimia. Selain itu unsur hara, pupuk organik lebih cepat diserap oleh tanaman. Tanaman kini gemuk dan berat per rumpun berlipat,” ujar Saherudin, warga desa Sesait Lombok Utara.
Masing-masing rumah tangga umumnya memiliki satu reaktor berkapasitas empat kubik. Agar dapat menghasilkan biogas (metana) dibutuhkan 30 kg kotoran sapi yang dapat dipenuhi dari dua ekor sapi. Butuh waktu tiga hari agar biogas muncul. Sementara untuk pengisian pertama biasanya membutuhkan waktu sepekan untuk memanen biogas. Di NTB, program biogas kotoran sapi ini awalnya sebagai tindak lanjut program Bumi Sejuta Sapi yang dicanangkan pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Program ini berhasil meningkatkan populasi sapi melampui target. Hingga akhir tahun 2011 populasi sapi di provinsi ini tercatat 740 ribu ekor dari target 780 ribu ekor.
Namun peningkatan populasi sapi rupanya membawa konsekuensi lain yaitu meningkatnya risiko kerusakan lingkungan akibat kotoran sapi yang tidak dikelola dengan baik. Setiap hari seekor sapi menghasilkan sekitar 10 kg kotoran perhari. Ini berarti jika ada 740 ribu ekor sapi maka ada 7.400 ton kotoran perhari yang dihasilkan atau 222.000 ton per bulan dan 2.693.600 ton dalam satu tahun.
Selain itu pemerintah Kabupaten Lombok Utara (KLU) memiliki orientasi membentuk Desa Mandiri Energi dimana salah satu indikator DME adalah di mana 60 persen energi yang dibutuhkan oleh masyarakat desa itu dipenuhi dari ketersediaan energi setempat. Kotoran sapi dengan dukungan pembangunan reaktor, diyakini sebagai salah satu upaya orientasi tersebut.
Suharto, ayah dari seorang anak kini mengaku mendapatkan manfaat dari penggunaan biogas sejak 2015. Demi memenuhi kebutuhan gas rumah tangganya dan saudaranya, Suharto memperbesar kapasitas reaktornya hingga menjadi delapan kubik. Dari hitung-hitungannya menggunakan biogas jauh lebih menguntungkan dibandingkan menggunakan LPG.
Saherudin, warga desa Sesait Lombok Utara sudah empat tahun terakhir ini mengaku lebih sejahtera sebagai petani setelah puluhan tahun harus bekerja keras mengolah tipisnya tanah pertaniannya. Sejak 2012, pria berusia 56 tahun itu semakin tak tergantung pada penggunaan pupuk kimia. “Ketersediaan pupuk organik dari sapi peliharaan membuat penggunaan pupuk kimia berkurang drastis. Dulu, saat masih memakai pupuk kimia, untuk setiap hektar saya butuh sekitar 600 kg pupuk organik. Kini paling hanya butuh 100 kg pupuk organik per hektar. Itupun sudah saya kurangi karena tanaman terlalu gemuk,” ujar Saherudin yang selama puluhan tahun berjibaku dengan kondisi tanah yang tipis. (es)
Euis Rita Hartati/ERH
Sumber: http://www.beritasatu.com/industri-perdagangan/376077-mca-indonesia-kemb...