Inspirasi Hijau Perempuan Desa (bagian 2)

Anda di sini

Depan / Inspirasi Hijau Perempuan Desa (bagian 2)

Inspirasi Hijau Perempuan Desa (bagian 2)

Perempuan di Jambi juga terlibat di proses akhir pertanian hutan (agroforestry/). Sapura, petani kopi di Desa Mekar Jaya, Tanjung Jabung Barat, menjelaskan kepada Republika, akhir 2016,  perempuan terlibat di proses setelah panen. Untuk kopi kebagian menyangrai kopi kemudian membuat bubuk. Untk pinang kebagian membelah buah pinang. Sapura juga menjadi pengurus Kelompok Tani Sri Utomo.Membentuk organisasi petani, para petani perempuan itu memiliki pertemuan rutin tiap minggu membahas permasalahan. "Sebelum ada KWT, kerjanya  masing-masing," ujar Rasidah.

Dengan adanya KWT yang disertai dengan adanya pelatihan bertani berkelanjutan, kondisi lingkungan mereka menjadi lebih baik. Rasidah mengakui lahan menjadi subur karena pupuk organik. Kotoran sapi yang di tiap keluarga juga bermanfaat karena bisa diolah sendiri. Setiap keluarga, setidaknya memiliki 5-7 ekor sapi.

Sudah ada pula keluarga yang memanfaatkan kotoran sapi menjadi biogas. Tetapi biogas itu baru cukup untuk kebutuhan memasak. Masyarakat Desa Sungai Besar berkeinginan pembuatan biogas semakin banyak, sehingga bisa mencukupi kebutuhan banyak keluarga di desa itu. "Sebelum ini, kotoran sapi diambil oleh kebun sawit," ujar Rasidah.

Di Buleleng Bali, kaum perempuan juga memiliki peran besar dalam pertanian sistem subak. "Sebanyak 70 persen proses di hilir dikerjakan oleh ibu-ibu," ujar Pande Made Oka, petani kopi di Desa Sepang, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali, kepada Republika, Senin (9/1).

Di budaya Bali, kata Made, sistem pertanian subak perempuan Bali terlibat mulai dari penyiapan bibit, penyiangan, hingga ke proses setelah panen yang juga banyak melibatkan perempuan. "Kita menghasilkan kopi organik, rata-rata 1,5 ton per hektare," ujar Made, anggota Subak Abian Eka Manik Mertha yang juga mengelola produksi kopi merek Dayang lewat CV Dewata Kopi Klasik.

Menyiapkan bibit juga menjadi bagian dari pekeraan perempuan di Ketapang, Kalimantan Barat (Foto: Dokumentasi Forum Hutan Desa Ketapang)

Kopi yang dihasilkan adalah kopi campur Robusta-Arabika, dengan perbandingan 40 persen Arabika, 60 persen Robusta. Batang bawah Robusta jenis Klon BP 308, kemudian disambung Robusta Tugu Sari 06, lalu disambung lagi dengan Arabika.

Mengolah dua hektare kebun kopi Made dan istrinya mengelola kebun kopi sistem monokultur seperti halnya petani lainnya di subak yang diikuti Made. Hama dikendalikan secara terpadu memanfaatkan rantai pakan secara alami.

Perempuan di Desa Mantangai Hulu, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, juga bertani secara kolektif. Lahan gambut mulai diupayakan tanpa bakar untuk ditanami holtikultura.

"Lahan yang mereka kelola juga kebanjiran," ujar Nurhadie Karben, anggota Serikat Tani Manggatang Tarung Desa Mantangai Hulu. Tanaman holtikultura miliknya juga kebanjiran pada awal Januari lalu, sehingga harus membeli bibit lagi.

Gagal panen tak membuat petani Mantangai Hulu patah arang. Mereka malah bersemangat melakukan perbaikan dalam pengelolaan lahan. Agar tanaman holtikultura tidak kebanjiran lagai, menurut Nurhadie, akan dilakukan perbaikan pembuatan bedengnya, sehingga jika hujan lebat turun lagi, air tak menenggelamkan bedeng-bedeng yang ditanami holtikultura.

Bertani telah menjadi pekerjaan turun-temurun di keluarga mereka. Mereka berharap makmur dari sana bersama-sama. Maka, ketika ada perusahaan sawit yang mengincar lahan mereka, mereka pun menentangnya. Rabiatul, misalnya, ikut membubuhkan tanda tangan penolakan kebun sawit di desanya pada 2009.

"Ini menunjukkan baik laki-laki maupun perempuan bahu-membahu dalam mata pencaharian sehari-hari mereka," ujar Manajer Pengelolaan Sumber Daya Walhi Kalsel Maulida Azizah.

 

Sumber: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/02/06/okya3r28...

Feedback
Share This: