Feasibility Study_ Pemetaan dan Pola Land Tenure Untuk Mendukung Strategi Rendah Emisi

Anda di sini

Depan / Feasibility Study_ Pemetaan dan Pola Land Tenure Untuk Mendukung Strategi Rendah Emisi

Feasibility Study_ Pemetaan dan Pola Land Tenure Untuk Mendukung Strategi Rendah Emisi

Strategi Pembangunan Rendah Emisi (SPRE) atau dikenal dengan Low Emission Development Strategy  (LEDS) sudah menjadi kebutuhan global, mengingat semakin meningkatnya ancaman perubahan iklim. Di Indonesia, LEDS terus didorong sebagai strategi perencanaan yang mempromosikan pertumbuhan ekonomi  yang memiliki daya tahan (resiliensi) terhadap perubahan iklim dengan tetap memperhatikan penurunan emisi gas rumah kaca secara jangka panjang dan berkelanjutan, termasuk di wilayah pesisir dan laut.

Blue Carbon Consortium saat ini sedang melaksanakan proyek Pengelolaan Pengetahuan mengenai Tata Kelola Wilayah Pesisir Rendah Emisi di Nusa Tenggara Barat dan Timur. Fokus proyek adalah pada penguatan perencanaan pembangunan rendah emisi di wilayah pesisir, penyebarluasan pengetahuan pengelolaan sumberdaya pesisir yang rendah emisi dan berkelanjutan, serta implementasi proses pembelajaran penerapan strategi pembangunan rendah emisi dalam skala berbasis sumberdaya lokal dan kearifan lokal.

Implementasi LEDS di wilayah pesisir di Pulau Sumba, berdasarkan assessment awal, banyak menghadapi permasalahan terkait aspek tenurial (penguasaan lahan). Aspek tenurial sendiri, dalam konteks perdebatan pengurangan emisi gas rumah kaca internasional mendapat perhatian cukup serius dalam konteks Sumber daya- sistem hak, aturan, lembaga dan proses-proses pengaturan akses dan    penggunaan  pada sumberdaya. Aspek ini merupakan kunci dalam membentuk dan mendistribusikan manfaat bagi masyarakat. Tenurial yang terjamin akan mengungkit   posisi   penduduk  lokal dalam relasi dengan pemerintah dan sektor swasta, termasuk hak masyarakat adat. Di sisi lain, tenurial yang  tidak  terjamin  menjadikan  penduduk  lokal  rentan  terhadap pencabutan kepemilikan – yang dapat menjadi masalah besar apabila kegiatan ekonomi meningkat dan tentu akan meningkatkan nilai lahan dan kepentingan luar.

Selain itu, hak atas sumber daya lahan yang tidak terjamin atau bersengketa  (contested) juga dapat meningkatkan risiko bagi para investor berupa resiko reputasi, misalnya, terkait dengan konflik dan ketegangan perebutan lahan yang mungkin muncul dengan masyarakat lokal. Jadi, yang lebih penting lagi dalam implementasi LEDS di wilayah pesisir adalah risiko ketidakpastian  alokasi ruang dalam  menjalankan  project karena  masalah  tenurial seperti penduduk lokal tidak lagi dapat mengontrol sumberdaya lahan pesisir atau ada konflik lahan dengan penduduk lokal. Namun demikian, keberadaan swasta dalam konteks tenurial juga dapat dapat memberi manfaat positif apabila aspek perlindungan hukum atas lahan itu. Keterlibatan sektor privat dalam project low emission akan sangat menentukan keberhasilan project, apabila pihak swasta turut serta dalam mendukung dan menjadi contoh dalam mengimplementasikan strategi rendah emisi ini.

Sekalipun masalah tenurial baru belakangan ini memperoleh perhatian  dalam  perdebatan  internasional  tentang  pengurangan emisi, dalam konteks LEDS menjadi sangat penting untuk melakukan suatu kajian lebih komprehensif tentang isu tenurial di Pulau Sumba, dimana berdasar kajian awal, mulai muncul isu tenuril akibat masuknya investor swasta untuk pendayagunaan wilayah pesisir sepeti pariwisata, dimana penguasaan lahan oleh swasta dikhawatirkan akan membatasi bahkan menghilangkan akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya pesisir dan laut.

Dalam kontek inilah, maka implementasi LEDS didalam ”Program Knowledge Management di Wilayah Pesisir di 4 Kabupaten di Pulau Sumba, Provinsi NTT, wajib memperhatikan perspektif penguasaan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal yaitu masalah penguasaan lahan (land tenure) untuk memastikan bahwa upaya pengurangan emisi yang dijalankan berbasis lahan pesisir, artinya proyek harus menghilangkan hambatan dalam implementasi kegiatan rendah emisi, yang disebabkan karena tidak dapat dikontrolnya akses terhadap sumberdaya lahan pesisir. Ini bukan berarti proyek membatasi soal kepemilikan, namun lebih memastikan bahwa persoalan tenurial tidak menjadi penghambat dalam upaya promosi kegiatan rendah emisi.  Untuk itulah diperlukan sebuah kajian komprehensif mengenai pemetaan dan pola land tenure untuk mendukung starategi rendah emisi.

Tujuan studi pemetaan dan pola land tenure untuk mendukung strategi rendah emisi di Wilayah Pesisir Pulau Sumba  NTT ini adalah untuk :

  1. Mengidentifikasi isu dan permasalahan penguasaan lahan (tenurial) di lokasi kajian
  2. Memetakan kepemilikan dan penguasaan lahan di lokasi kajian berdasarkan tipe kepemilikan dan distribusi spasial
  3. Menganalisis pola penguasaan dan distribusi lahan pesisir dan potensi konflik di lokasi kajian
  4. Menyusun rekomendasi pengelolaan lahan (termasuk resolusi konflik) di pesisir untuk mendukung implementasi SPRE

Studi pemetaan dan pola land tenure untuk mendukung strategi rendah emisi di Wilayah Pesisir Pulau Sumba  NTT ini diharapkan dapat dijadikan acuan awal untuk menentukan jenis kegiatan yang layak untuk dijadikan demplot di lokasi yang terpilih. Kegiatan ini akan berlangsung sejak awal bulan Maret 2016 hingga pertengahan bulan Mei 2016.

Sumber : http://bluecarbonconsortium.org/news/feasibility-study_-pemetaan-dan-pol...

Feedback
Share This:

Kirim komentar

Plain text

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Alamat web dan email otomatis akan diubah menjadi link.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.
CAPTCHA
This question is for testing whether or not you are a human visitor and to prevent automated spam submissions.