Mengenal Kembali Sistem Ketahanan Pangan Masa Lalu untuk Pertanian Berkelanjutan Masa Kini
Kabupaten Sumba Timur merupakan daerah semi-arid dengan curah hujan rendah. Sebagian besar penduduknya menggantungkan penghidupan kepada pertanian lahan kering terutama jagung dan padi ladang. Sementara jaminan pasokan air untuk produksi pangan hanya mengandalkan pada curah hujan musiman. Masa kekeringan yang terlalu panjang maupun berlebihnya curah hujan, kadang menyebabkan gagal panen atau menurunkan hasil panen rata-rata. Hampir setiap tahun masalah rawan pangan terjadi di Sumba Timur seperti yang dialami oleh sedikitnya 20 desa tahun 2015 lalu. Komunitas petani kecil di pedesaan khususnya perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap kelaparan akibat rawan pangan. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil untuk mengantisipasi kondisi ini dengan cara pemberian uang tunai dan beras raskin ke sejumlah pemukiman untuk membantu masyarakat maupun upaya penyuluhan teknis budidaya dan pemberdayaan pangan. Namun berbagai upaya tersebut baru sebatas pada penanganan yang bersifat sementara saja.
Masih diperlukan upaya yang lebih mendasar dari masyarakat itu sendiri untuk mengatasi kondisi dan situasi rawan pangan dengan cara mengenal dan menghidupkan kembali praktik-praktik pertanian masa lalu mengenai ketahanan pangan misalnya sistem pengolahan lahan pertanian dan peternakan, perlindungan benih maupun perlindungan sumber air. Praktik-praktik tersebut di masa lalu terbukti mampu menjamin ketersediaan pangan dan di masa kini dapat menjadi referensi untuk upaya pertanian berkelanjutan.
Pertanian berkelanjutan adalah salah satu isu dalam strategi pembangunan rendah karbon yang menjadi perhatian MCA-Indonesia melalui Aktivitas Pengetahuan Hijau – Proyek Kemakmuran Hijau. Sebagai pengelola pengetahuan dalam proyek ini, BaKTI memfasilitasi sebuah Diskusi sebagai media untuk curah ide dan berbagi informasi praktik sistem ketahanan pangan masa lalu dengan mengangkat topik "Mengenal Kembali Sistem Ketahanan Pangan Masa Lalu untuk Pertanian Berkelanjutan Masa Kini" pada Selasa, 19 April 2016 di Hotel Tanto, Waingapu – Kabupaten Sumba Timur, NTT.
Acara diawali sambutan dari Direktur Eksekutif BaKTI, Ibu Caroline Tupamahu dan dilanjutkan sambutan dari Sekretaris BAPPEDA Sumba Timur, Ir. Mikhael Jaka Laki sekaligus membuka acara secara resmi. Dalam sambutannya, Pak Mikhael berharap dari diskusi ini, perlu ditemukan sebuah pendekatan yang holistik untuk menyelesaikan persoalan rawan pangan khususnya di Sumba Timur. “Saat ini untuk PDRB Sumba Timur menempati urutan ke-3 teratas dari 22 Kabupaten di NTT tetapi sayangnya disaat yang sama menempati urutan ke-3 terbawah untuk tingkat kemiskinan. Ini berarti ada sesuatu yang sedang terjadi dan itu harus ditemukan oleh kita bersama. Dalam rangka itu maka memahami konteks kemitraan untuk menyelesaikan tantangan yang dihadapi daerah menjadi sangat penting” ungkap beliau.
Hadir sebagai pembicara adalah Manajer Area Konsorsium Hijau kabupaten Sumba Timur, Florianus Paulus Ngera (Umbu Nababan) dan Kadis Pertanian kabupaten Sumba Timur, Bapak Ida Bagus Putu Punia. Dalam presentasinya, Umbu Nababan menyampaikan bahwa masyarakat Sumba masih memegang kuat kepercayaan lokal dalam bentuk budaya dan religi yang disebut Marapu dimana Marapu mengatur hubungan antar manusia dengan alam, manusia dengan sesama dan manusia dengan penciptanya. Dalam konteks ketahananan pangan, kata Umbu Nababan beberapa hal perlu diperhatikan yakni lahan, pemilihan dan manajemen pertanian, manajemen ternak dan pemanenan. Seperti yang dilakukan masyarakat di Desa Tanggedu (wilayah intervensi Konsorsium Hijau), di lahan pertanian ditanami berbagai tanaman tumpang sari seperti jenis jagung lokal, sorgum, kacang-kacangan, padi ladang, dan berbagai jenis umbi-umbian. Untuk pengelolaan ternak, kandang hewan berada di lahan pertanian tersebut untuk memudahkan proses pemupukan (kandang) dengan mengandalkan media air hujan pada masa tanam. Setelah selesai panen, biasanya ternak dibiarkan memasuki lahan pertanian. Sementara untuk proses pemanenan dilakukan secara berjenjang dalam beberapa bulan. Khusus untuk iwi, panen dilakukan pada musim kemarau dengan tujuan mempersiapkan diri pada masa paceklik. Hal penting lain terkait ketahanan pangan adalah proses penyimpanan hasil pertanian. Semenjak dahulu orang Sumba sudah mengenal sistem pengawetan alami dan lumbung - biasanya berada di loteng rumah Praing, rumah kebun dan di pepohonan. Untuk pemasaran hasil pangan, masyarakat Sumba memiliki pusat perekonomian masa lalu yang disebut Nallu atau Pranggangu yang berlokasi di wilayah strategis pusat pemukiman (kampung). Tempat ini dipergunakan masyarakat untuk melakukan barter, mis: hewan, kain atau perhiasan sebagai alat pertukaran dengan hasil pertanian. Pada masa paceklik, ada aktifitas perekonomian yang dilakukan masyarakat dikenal dengan Mandara, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar ekonomi keluarga. Namun pelaku Mandara ini hanya melibatkan keluarga dan sahabat yang merelakan bantuan bagi yang membutuhkan.
Kadis Pertanian Sumba Timur, Pak Bagus yang hadir dalam diskusi ini turut menanggapi beberapa hal antara lain : Ketahanan pangan penting untuk masa lalu, masa kini dan masa depan. Perlu adanya pembenahan tentang model-model ketahanan pangan di masing-masing desa di Sumba Timur - karena tempat yang berbeda menghasilkan persoalan berbeda. Penting diperhatikan tentang perubahan iklim karena inilah awal mula terjadinya perubahan dalam cara/pola bertani. Misalnya, ada perbedaan pola penanganan rawan pangan untuk daerah utara dan selatan, daerah utara cenderung kering dengan curah hujan yang sangat rendah dan lama hujan 2-3 bulan saja dalan setahun sedangkan di daerah selatan hujan lebih sering terjadi. Langkah strategis jangka pendek yang telah diambil dalam situasi ini, yakni pencarian sumber-sumber air, mis: untuk daerah utara ada rencana untuk pembuatan irigasi Kadahang dan untuk daerah timur (Mangili dan Wula) yang daerah hulunya sudah rusak, strategi jangka pendek adalah pembuatan irigasi pompa sehingga walaupun tidak bisa lagi lahannya ditanami padi tetapi masih bisa ditanami jagung dan kacang ijo sabu. Pemanfaatan teknologi pertanian dari pacul menggunakan traktor bertujuan untuk efisiensi waktu dan tenaga karena perubahan iklim yang menyebabkan perubahan kontur tanah menjadi lebih keras - menjawab pernyataan bahwa pemberian traktor oleh negara justru merusak semangat gotong royong warga di desa.
Kegiatan diskusi diakhiri dengan tanggapan dan pertanyaan dari peserta diskusi. Kegiatan ini dihadiri 39 orang yang berasal dari perwakilan SKPD di Kabupaten Sumba Timur, Anggota DPRD Sulba Timur, Lembaga Swadaya Masyarakat, Pemerintahan Desa, DRM MCA Indonesia, petani, dan media cetak Waingapu Pos dan Radio MaxFM.
Kirim komentar