Membangun Ketahanan Pangan Melalui Pengelolaan Pertanian Berkelanjutan
Konsep pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan menjadi isu global muncul sejak tahun delapan puluhan, setelah terbukti pertanian sebagai suatu sistem produksi ternyata juga sebagai sumber pencemaran bagi sumberdaya lahan dan air. Meluasnya lahan-lahan marjinal dan pendangkalan perairan dihilir merupakan bukti bahwa pertanian yang tidak dikelola secara berkelanjutan telah menurunkan mutu sumberdaya pembangunan. Pertarungan Teknologi Pertanian Dunia (Kimia VS Alami), secara langsung berdampak pada bumi, air, sumber daya hayati dan tanah yang semakin memburuk dan rusak karena eksploitasi untuk mengambil energi fosil dan mineral logam pendukung teknologi fisika mempersulit produksi pangan yang biasa dilakukan secara konvensional yang semakin mahal.
Untuk itu, mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan adalah suatu keharusan yang perlu dilakukan jika kita ingin terus dapat melakukan pembangunan di berbagai bidang. Sejak ditetapkannya Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai daerah swasembada beras dan juga sebagai salah satu daerah penyangga pangan nasional dimana sebagian besar lahan di provinsi NTB berupa lahan kering 1.807.463 ha atau 84% dari luas wilayah NTB. Karakteristik iklim yang sangat beragam serta variasi geologi yang menghasilkan keragaman tanah yang ada di Provinsi NTB menjadi tempat yang sangat representatif untuk pengkajian budidaya pertanian lahan kering semiringkai di Indonesia.
Walaupun potensi lahan kering NTB yang cukup besar, lahan kering yang ada memiliki ekosistem yang rapuh dan mudah terdegradasi apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang tepat. Oleh karena itu, tantangan pertanian saat ini dan masa depan adalah bagaimana pertanian dapat mamasok kebutuhan hidup manusia secara secara berlanjut tanpa banyak menimbulkan degradasi sumberdaya alam.
Pertanian berkelanjutan adalah salah satu isu pembangunan rendah karbon yang menjadi perhatian utama Aktivitas Pengetahuan Hijau – Proyek Kemakmuran Hijau MCA-Indonesia. Melalui Konsorsium Petuah, MCA-Indonesia memberi dukungan bagi Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat untuk mendirikan Center of Excelence for the Climate-Resilience Agriculture (CLEAR) atau Pertanian Tahan Iklim yang berfokus pada kegiatan mengumpulkan dan mendiseminasikan pengetahuan terkait pertanian tahan terhadap perubahan iklim. Universitas Mataram telah melakukan serangkaian penelitian dan Focus Group Discussion terkait pertanian berkelanjutan yang tahan perubahan iklim serta faktor-faktor pendukungnya di Nusa Tenggara Barat. Beberapa temuan dalam ragam kegiatan yang telah dilakukan Universitas Mataram dipaparkan dalam Diskusi Praktik Cerdas Hijau bertema ’Membangun Ketahanan Pangan Melalui Pengelolaan Pertanian Berkelanjutan’, diskusi yang difasilitas oleh BaKTI ini dilaksanakan tanggal 21 Maret lalu bertempat di Kantor Bappeda Provinsi Nusa Tenggara Barat, juga menghadirkan Bapak Armin Salassa dari Kelompok Swabina Petani Salassae (KSPS) yang bercerita mengenai proses transformasi perubahan mind set petani untuk beralih dari pertanian kimia menjadi pertanian alami.
Adalah Bapak Joko Priyono (Peneliti Konsorsium PETUAH Universitas Mataram) berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai pemanfaatan sumber daya local untuk adaptasi perubahan iklim dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan, mengangkat pengalaman dari apa yang dilakukan oleh Konsorsium PETUAH. Konsep ketahanan pangan yang muncul pada era kabinet kerja Jokowi adalah terpenuhinya kebutuhan pangan nasional yang berasal dari produksi dalam negeri yang bermuara pada kemandirian pangan sehingga tidak terpengaruh pada kondisi luar.
Kemandirian lokal merujuk pada sumber daya lokal meliputi : Usaha tani : benih, pupuk, pestisida, teknologi dan pemasaran hasil usaha tani serta berkelanjutan dan adanya dukungan kebijakan dari pemerintah.
Untuk menghindari impor bahan pangan, sebisa mungkin menciptakan pertanian produktif dan berkelanjutan. Produktif tidak hanya menyangkut pada quantitas atau jumlah tapi juga kualitasnya yang dapat diperoleh diantaranya; kesejahteraan actor usaha tani dalam hal ini baik penjual maupun pembeli sama-sama menikmati keuntungan yang proporsional; ramah lingkungan, resisten terhadap perubahan iklim, tidak terpengaruh pada gejolak politik maupun ekonomi global serta mandiri dalam input, teknologi dan pemasaran.
Merujuk pada kondisi dari sumber daya alam di provinsi Nusa Tenggara Barat dimana keterbatasan sumberdaya air untuk usaha tani dan manajemen pemanfaatan SDA yang belum dikelola secara maksimal, belum lagi ancaman hama penyakit tanaman dan pemupukan yang menggunakan bahan kimia yang tidak proporsional sehingga membutuhkan strategi khusus untuk mengelola potensi sumber daya alam yang didominasi 80% lahan kering dengan memanfaatkan sumber-sumber mata air, air tanah dalam, sungai (dam/bendung), embung sebagai sumber pengairan pertanian, serta mengembangkan benih/varietas lokal, pestisida nabati, sumber unsur hara (pupuk) organik dan mineral/batuan (G. Rinjani, Tambora). Salah satunya yang telah dikembangkan oleh Unram adalah pupuk cair Silikat yang diperoleh dari Gunung Rinjani yang terbukti bisa menyuburkan tanaman dan tanah, praktik-praktik pertanian alami dan sehat serta berkelanjutan adalah terus dikembangkan oleh Konsorsium PETUAH . Konsorsium PETUAH juga mengintegrasikan penelitian ilmiah dengan pengetahuan local sebagai contoh Warige, adalah pengetahuan peramalan cuaca dari suku Sasak untuk menentukan waktu tanam yang tepat dengan tingkat keakurasian yang tinggi. Melalui CoE CLEAR akan mengoleksi dan mendokumentasikan dalam berbagai bentuk secara bertahap segala pengetahuan lokal dan nantinya akan didiseminasikan dan disintesis sehingga menghasilkan suatu model atau pola-pola usaha tani yang berbasis pada kearifan lokal tentunya dengan memadukan dengan teknologi baru.
Tidak kalah menariknya cerita dari Pak Armin Salassa dalam mengubah kesadaran dan mind set petani di Desa Salassa Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan, selama puluhan tahun mempraktikkan pertanian kimia. Mimpi tentang bahagia dan sejahtera dari bertani mulai berkurang, muncul penyakit dimana-mana dan hasil pertanian yang semakin berkurang karena penggunaan pestisida yang tinggi, akhirnya banyak yan memilih menjadi TKI ke luar negeri. Pak Armin mulai resah melihat kondisi ini, akhirnya pada tahun 2011, dengan modal cerita dan pengalaman bekerja sebagai tenaga lapangan di beberapa NGO, ia membuka wacana pada beberapa petani. Selama enam bulan, Armin dan beberapa petani memulai diskusi. Setiap hari, dari pagi, siang hingga malam dari rumah ke rumah. Membangun mimpi secara bersama, sebelumnya petani bekerja secara individu untuk memajukan diri sendiri, kemudian cita-cita ini kemudian diubah dan bertransformasi menjadi cita-cita kolektif, bekerja untuk kemajuan bersama masyarakat kampung. Semangat yang menyatukan mimpi mereka berdasar pada kepercayaan bahwa Salassae adalah kampung yang sangat penting dengan mendesain kampung Salassae dimana semua petaninya bisa menjadi pengajar mengajarkan pertanian alami, dan akhirnya muncul kesepakatan bersama untuk membentuk organisasi KSPS (Kelompok Swabina Petani Salassae).
Pertanian alami adalah pertanian yang sama sekali tidak menggunakan pupuk kimia.
Di Salassae kini terdapat 40.000 hektar lebih lahan pertanian yang tidak lagi menggunakan pupuk kimia. Petani belajar mengelola pertanian alami termasuk mengatur ‘pola makan’ tanaman. Kapan tanaman-tanaman mereka memerlukan nitrogen, fosfor dan kalium. Berbekal belajar dari berbagai dokumen yang bisa diperoleh di internet, petani-petani ini mengetahui setiap fase tumbuh tanaman membutuhkan asupan yang berbeda jenis dan kadarnya; petani juga diajarkan membuat sendiri mikroba untuk kompos dan asupan nutrisi tanaman dengan memanfaatkan bahan-bahan dari lingkungan sekitar.
Untuk lahan pertanian sawah seluas 1 hektar, biaya produksi untuk persiapan pupuk dan racun pestisida mencapai 4 juta rupiah. Sementara jika menggunakan bahan alami biaya produksinya hanya 300 ribu rupiah. Biaya itu pun hanya untuk membeli kompos dan gula merah. Setiap petani wajib mentransfer ilmunya kepada petani lain di Desa Salasae maupun di desa-desa lainnya.
Selain itu, organisasi petani adalah sebuah cara untuk melibatkan petani dalam semua program pembangunan, untuk itu dirasa perlu untuk mengajarkan petani bagaimana menjalankan dan mengelola organisasi dengan tetap bersinergi dengan program-program pemerintah daerah. Sejak berdiri tahun 2011 sampai tahun 2015 KSPS memiliki anggota 400 orang dan telah mendampingi sebanyak 45 desa dan mengelola modal usaha sebesar 600 juta.
Tidak mudah mengubah mind set masyarakat, sehingga peran pendidikan menjadi penting untuk mengedukasi masyarakat secara bertahap, “Pertanian Alami sudah menjadi rumah kami” ucap Pak Armin diakhir ceritanya.
Apresiasipun bermunculan dari peserta diskusi yang hadir. Badan Koordinasi Penyuluhan Provinsi NTB contohnya, beliau akan mengirim staf untuk magang pertanian alami di KSPS Salassae dan juga meminta pendampingan dari PETUAH UNRAM untuk pembuatan demplot. Diharapkan PETUAH dan Pak Armin dapat mentransfer ilmunya kepada peserta yang hadir sehingga bisa mereplikasi di tempat masing-masing.
Mari membangun riset dan teknologi yang berwawasan kedaulatan pangan untuk masyarakat.
Kirim komentar