Mewariskan dan Melestarikan Sejarah Tenun Ikat Bagi Anak Cucu Lewat Buku
Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, “mercu suar” seperti kata seorang penyair, “yang dipancangkan di samudera waktu”. [Barbara Tuchman, 1989]
Apa yang paling anda ingat dari Sumba? Eksotika alam, keragaman budaya atau cuaca tropikanya? Bagi anda yang sudah sering bertandang ke Sumba, khususnya Sumba Timur maka pastilah tenun ikat masuk dalam daftar apa yang paling diingat tentang Sumba.
Siapa yang tidak kenal tenun ikat Sumba Timur? Kain tenun ikat adalah kain tenun yang pembuatan motifnya menggunakan teknik ikat. Teknik ikat dilakukan dengan bagian-bagian tertentu dari benang, dengan maksud agar bagian-bagian yang terikat itu tidak terwarnai ketika benang dimasukkan kedalam cairan pewarna. Bagian-bagian yang diikat telah diperhitungkan sedemikian rupa, sehingga setelah ditenun akan membetuk motif-motif yang sesuai dengan yang diinginkan.
Secara tradisional, kain tenun ikat Sumba Timur dibuat menggunakan zat-zat pewarna alami. Proses pembuatan selembar kain tenun ikat relatif rumit dan memakan waktu cukup lama. Proses pewarnaannya saja bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan. Selain berkaitan dengan kebiasaan turun temurun, lamanya waktu yang diperlukan juga disebabkan karena jenis-jenis tumbuhan yang menjadi sumber zat warna-warna tertentu hanya tumbuh pada musim-musim tertentu.
Pada musim penghujan para penenun melakukan kegiatan mengikat benang, membentuk motif yang diinginkan, sekaligus menyiapkan bahan-bahan pewarna. Warna merah, misalnya, dihasilkan dari akar mengkudu yang dicampur daun loba. Proses pencelupan (pewarnaan) baru dimulai pada musim kemarau.
Karena bergantung pada bahan-bahan alami, pilihan warnanyapun terbatas. Warna biru, merah hitam dan kuning, merupakan warna yang biasa digunakan. Proses pewarnaannya relatif rumit dan memerlukan kesabaran. Paling tidak diperlukan empat kali pemrosesan untuk mendapat satu warna yang diinginkan. Setelah proses pewarnaan selesai, ikatan-ikatan dibuka, benang diurai, sebelum proses penenunan dimulai. Kegiatan menenun umumnya dilakukan kaum perempuan di sela-sela kesibukan mengurus rumah tangga dan membantu suami di kebun. Saat ini menenun menjadi salah satu sumber mata pencaharian yang tidak kalah penting dari bertani dan beternak.
Pada bulan April Tahun 2012 yang lalu, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan, Ibu Wiendu Nuryanti bersama perwakilan dari UNESCO dan Cita Tenun Indonesia mengumumkan sudah diterimanya usulan agar tenun ikat Sumba dikukuhkan dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda 2013 ke UNESCO.
Dalam siaran kepada pers yang dilaksanakan pasca pengumuman itu disebutkan, tenun ikat Sumba diusulkan untuk dimasukkan ke kategori "Need of Urgent Safeguarding" atau dengan kata lain, butuh cepat untuk dikukuhkan, bukan dalam daftar representative list. Tenun Ikat Sumba dipilih sebagai warisan budaya tak benda dalam kategori tersebut karena beberapa hal, antara lain: Perkembangan tenun ikat Sumba bertumpu pada perempuan sebagai penerus ilmu adati (indigenous knowledge). Transmisi pengetahuan mengenai tenun diturunkan dengan metode sepanjang hayat dengan cara lisan (oral) dari ibu kepada putrinya. Tak banyak literatur yang mengekalkan proses tradisional pembuatan kain tenun ikat Sumba. Hal ini membuat masyarakat di luar pulau Sumba minim pengetahuan mengenai keberadaan jenis tenun ini.
Hal lain juga adalah yang terkait dengan tingginya budaya tutur orang Sumba dan bukan budaya tulis. "Biasanya diajarkan secara oral, namun, saat ini masyarakat muda di sana kebanyakan memilih untuk keluar dari kota-kotanya. Mereka tidak meneruskan kegiatan menenun dari orangtuanya," kata Okke Hatta Rajasa, Ketua Cita Tenun Indonesia, usai konferensi pers mengenai pengajuan usul tenun ikat Sumba dalam Warisan Budaya Tak Benda Unesco 2013 yang digelar di Kemendikbud itu.
Dampak lanjutan dari hal diatas adalah bahwa sampai saat ini belum ada muatan lokal dalam kurikulum resmi pendidikan formal umum di NTT tentang tenun. Belum pula ada sekolah yang memuat bidang tenun di daerah terkait. Hal ini menjadi hal yang disayangkan oleh para generasi tua di Pulau Sumba. Asumsinya, dengan banyak penambahan pengetahuan tentang menenun kepada masyarakat lokal, anak-anak di pulau tersebut bisa mempelajari sejarah dan budaya tenun ikat Sumba, tidak bergantung pada dongeng-dongeng dari orangtua saja.
Ini juga sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Palulu P Ndima dalam bukunya tentang Kajian Budaya Tenun Ikat Sumba Timur, bahwa keahlian menenun ini dibagikan dalam lingkup keluarga secara turun temurun dan tidak dipelajari lewat pendidikan khusus di sekolah formal. Ini dapat menjadi ancaman terhentinya pewarisan keahlian pada generasi selanjutnya yang bisa berdampak pada hilangnya jati diri dan identitas orang Sumba, jika satu saat kain tenun tidak lagi bisa diproduksi karena sudah tidak ada yang bisa membuatnya.
Tentu saja kekhawatiran ini adalah kekhawatiran para seniman tenun di Sumba juga. Adalah seorang pria asal Lambanapu, Sumba Timur bernama Kornelis Ndapa Kamang. Sejak tahun 1993 ketika lulus SMA memutuskan untuk tinggal di rumah dan membantu ibunya menenun karena keterbatasan biaya untuk kuliah. Sejak saat itu ia lansung jatuh cinta pada tenun ikat, walaupun saat itu masih belum begitu banyak laki-laki apalagi anak muda yang terlibat dalam kegiatan menenun ini.
Pak Kornelis saat ini menjabat sebagai Ketua Kelompok Tenun Paluanda Lama Hamu yang telah ada sejak tahun 1992, dimana kelompok ini berkonsorsium dengan Samdhana Institute dan Yayasan Sekar Kawung untuk mengerjakan sebuah proyek berjudul” Menguatkan Budaya-Ekologi dan Ekonomi Tenun Pewarna Alam Dalam Rangka Pembangunan Rendah Emisi di Sumba Timur” dengan dukungan dari Millenium Challenge Account Indonesia (MCAI) lewat Hibah Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat (Jendela 2).
Menurut beliau, setelah sekian lama bergelut di dunia tenun ikat dengan pewarna alam lama kelamaan mulai muncul kegelisahan karena kebanyakan perempuan tidak lagi mewariskan kemampuan itu pada anak-anaknya. “Jangan-jangan jaman anak-anaknya kita nanti, ini budaya tenun yang merupakan salah satu simbol jati diri orang Sumba hanya tinggal dongeng” tandasnya ketika kami bertemu di Hotel Jemmy Waingapu. Kegelisahan ini berujung pada keinginan untuk mendokumetasikan lalu membagi keahlian menenunnya lewat sebuah buku pelajaran bagi anak-anak Sekolah Dasar (SD).
Tanggal 23 Januari – 4 Februari 2017 bertempat di Aula Hotel Jemmy Waingapu – Sumba Timur, Samdhana Insitute dan anggota konsorsiumnya melaksanakan sebuah kegiatan “Lokakarya Pembuatan dan Penyusunan Buku Bacaan Sejarah Budaya dan Ekologi Tenun Ikat Pewarna Alam Untuk Guru dan Siswa Sebagai Petunjuk Teknis Pembelajaran Muatan Lokal” di Kabupaten Sumba Timur. Kegiatan ini dibagi dalam 3 tahap yaitu tahap I tanggal 25-23 Januari 2017, tahap II tanggal 26-27 Januari 2017 dan tahap III tanggal 31 Januari-4 Februari 2017.
Untuk kegiatan tahap I tanggal 23- 25 Januari 2017 dibuka oleh Sekretaris Dinas Pendidikan Bapak Ruben Ngguli Ndima dan diikuti oleh sekitar 45 peserta yang berasal dari unsur guru dan pengawas. Guru-guru yang terpilih adalah guru-guru tingkat SD, sejumlah 4 orang dari tiap SD dengan kriteria 1 Kepala Sekolah dan 3 guru. Ada 9 SD yang terlibat dan berasal dari SD tempat lokasi program dan SD di sentra-sentra tenunan, yaitu SDI Kalu, SDM Lambanapu, SDN Palindi, SD Kawangu 1, SDN Taimanu, SDM Praiyawang, SDI Tanamang, SDM Pau dan SDK Praikundu. Dari 9 SD ini sudah ada 3 SD yang menerapkan kurikulum 2013 (K13) sedangkan sisanya masih menerapkan kurikulum 2006.
Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk pemberian materi oleh narasumber dilanjutkan dengan demo menenun oleh para seniman tenun ikat. Narasumbernya terdiri dari Ibu Yanti Dewi (Kementrian Pendidikan RI), Bapak Yandri (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi NTT), Bapak Kornelis, Bapak James dan Bapak Titus yang semuanya merupakan seniman tenun ikat pewarna alam. Selain itu, hadir pula Bapak Palulu P. Ndima, Ketua DPRD Sumba Timur yang pernah melakukan kajian budaya tenun ikat Suma Timur untuk membawakan materi tentang sejarah tenun ikat dan motif.
Sejatinya upaya mengenalkan tenun ikat Sumba harus sudah diberikan kepada anak-anak sejak usia Sekolah Dasar. Penulisan buku bacaan tentang sejarah tenun, langkah-langkah pembuatan tenun dan tanaman pewarna alami serta bahan ajar tentang Desa Lambanapu sebagai desa tenun pewarna alam bagi siswa SD merupakan salah satu upaya untuk melestarikan tenun ikat. Oleh sebab itu rangkaian kegiatan yang berlangsung selama hampir 10 hari itu secara umum bertujuan untuk melestarikan budaya tenun pewarna alam yang dimulai dari pengenalan pada siswa SD dan hidup di dalam wacana pemerintahan daerah serta dipahami sebagai modal yang penting dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.
Menurut Bapak Ruben ketika membuka kegiatan ini, sampai saat ini memang Kabupaten belum menghadirkan kurikulum muatan lokal yang bisa dipakai oleh satuan pendidikan di Sumba Timur, namun secara khusus Pemda memang harus mengevaluasi Mulok karena anak-anak harus mengenal potensi budaya daerah, misalnya tenun ikat pewarna alam. Oleh sebab itu penting untuk para guru menyusun standar kompetensi dan silabus yg baik, sehingga bisa dituliskan standar yang dapat digunakan pada beberapa daerah di Sumba Timur bahkan di Sumba.
Pelajaran Mulok (Muatan Lokal) menjadi ruang untuk mengakomodir harapan baik ini. Jika merujuk pada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maka Mulok merupakan pengembangan pemahaman peserta didik terhadap potensi daerahnya, dalam bentuk kesenian, bahasa, ketrampilan dan sebagainya. Sedangkan menurut Permendikbud No 79/2014 Pasal 2 : (1) Muatan lokal merupakan bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan dan kearifan di daerah tempat tinggalnya. (2) Muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajarkan dengan tujuan membekali peserta didik dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk: a. mengenal dan mencintai lingkungan alam, sosial, budaya, dan spiritual di daerahnya; dan b. melestarikan dan mengembangkan keunggulan dan kearifan daerah yang berguna bagi diri dan lingkungannya dalam rangka menunjang pembangunan nasional.
Selanjutnya salah seorang peserta bernama Bapak Sapu Simon (Kepala SDK Praikundu) menyatakan bahwa kegiatan ini sangat penting karena selama ini materi yang masuk dalam pelajaran Mulok misalnya, hanya sebatas agar siswa mengetahui tentang tenun ikat. Siswa tidak diajak untuk paham benar filosofi dan nilai dibalik tenunan itu sekaligus tidak sampai pada level praktek menenun. Bahkan terkadang, dalam pelajaran Mulok justru ada praktek memasak yang sudah diajarkan lewat pelajaran KTK (Kerajinan Tangan dan Kesenian).
“Supaya bisa menjadi Mulok maka kita harus paham ceritanya, oleh sebab itu ceritanya harus ada supaya jika bukunya nanti jadi tidak ada pihak yang mengatakan cerita ini salah. Sehingga penting untuk menghadirkan narasumber dan referensi yang sesuai dalam proses ini” kata Pak Yandri mempertegas pendapat Bapak Sapu Simon diatas.
Sementara itu Ibu Anissa Yuniar selaku Programme Manager dari Yayasan Sekar Kawung menegaskan bahwa rencananya dalam buku ini akan memuat sejarah tenun, 27 langkah pembuatan tenun, tanaman pewarna alam dan Desa Lambanapu sebagai desa tenun pewarna alam. Sehingga jika semua proses berjalan dengan baik dan outputnya tercapai maka model ini menjadi model yang pertama ada dan bisa diadopsi di seluruh Nusa Tenggara Timur bahkan tempat lain jika memungkinkan.
Sebuah upaya menyiapkan warisan berharga bagi generasi masa depan bumi Marapu telah dimulai. Kekayaan intelektual para leluhur yang diwariskan dalam baitan-baitan adat tentang tenunan Sumba bukan sekadar kata-kata yang hilang selepas ritual. Keindahan tenun ikat Sumba akan terus menjadi milik “tau Humba” karena “Nda Humba Li La Mohu Akama” (Kami Bukan Humba Yang Menuju Kemusnahan) dan sebuah buku akan menjadi saksi sejarahnya.