Perempuan Penggarap Sawah Garam

Anda di sini

Depan / Perempuan Penggarap Sawah Garam

Perempuan Penggarap Sawah Garam

Inak Saniah adalah satu dari sekian banyak perempuan penggarap sawah  garam yang terletak  di Dusun Tanak Lentung Desa Ketapang Raya Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur. Sejak lima tahun lalu Ia menggantikan orang tuanya mengerjakan sawah garam milik orang lain dari desa setempat. Menjadi petani penggarap sawah garam adalah profesi turun temurun tidak hanya bagi Inak saniah saja melainkan sebagian besar warga di dusun tersebut.  bagi Inak Saniah menggarap ladang dan sawah garam merupakan pekerjaan yang berat karena semua harus dikerjakan sendiri. Suaminya telah lima belas tahun bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negara tetangga. Sehingga sawah garam yang digarapnya dikerjakan sendiri. Mulai dari persiapan lahan hingga pemanenan. Hanya pekerjaan-pekerjaan tertentu Ia menyewa tenaga kerja laki-laki. Karena ketekunannya itu, si Pemilik mempercayakan 3 petak sawah garam untuk digarap oleh Inak Saniah, setiap petaknya berukuran 7 m x 15 m.
Menurut Inak Saniah, Ia sedikit lebih beruntung dibandingkan dengan penggarap yang lain. Karena sawah garam yang Ia garap menghasilkan lebih banyak garam dibandingkan dengan lahan milik temannya. Pada musim lalu Ia mendapatkan penghasilan sekitar 1,5 juta rupiah untuk 3 petak sawah garam yang Ia garap. Angka ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan penggarap lain yang sawahnya terkena banjir akibat luapan air sungai. Pendapatan Inak Saniah tersebut secara umum sama dengan penggarap lainnya karena produktivitas sawah garam di kawasan Lombok Timur dan Pulau Lombok pada umumnya memang sangat rendah.  Hal ini karena pengelolaan sawah garam masih dilakukan secara tradisional dengan teknologi yang sederhana.
Hal tersebut juga yang menjadi motivasi bagi Inak Saniah untuk bergabung dalam Kembang Nyiur, salah satu kelompok perempuan petani garam yang ada di Desa Keruak yang termasuk dalam kelompok dampingan Yayasan Panca Karsa dan KSU Annisa bersama 16 kelompok lainnya yang ada di Kabupaten Lombok Timur pada Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Petani Garam Perempuan Melalui Pengembangan Usaha Garam Rakyat yang Ramah Lingkungan dan Hemat Energi yang mendapatkan pendanaan dari MCA (Millenium Challenge Account) Indonesia melalui Hibah Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Untuk Pemberdayaan ekonomi Kelompok Perempuan. Dengan pendampingan yang dilakukan tersebut, Inak Saniah berharap akan mendapatkan pengetahuan pengolahan sawah garam yang lebih baik dan efisien. Inak Saniah pernah mendengar cerita dari salah seorang perwakilan petani garam yang ikut serta pada studi banding yang dilaksanakan oleh Yayasan Panca Karsa dan KSU Annisa pada bulan Februari ke Pulau Madura. Pulau yang dikenal dengan penghasil garam. Disana pengolahan garam sudah tersentuh teknologi, sederhana saja sebenarnya tetapi sangat berpengaruh pada kualitas garam yang dihasilkan. Untuk satu Ha sawah garam mampu menghasilkan 150 Ton setiap panennya. Sangat jauh jika dibandingkan dengan penghasilan petani di Lombok yang mampu memproduksi garam hanya sekitar 35-40 Ton per Ha.
Mendengar itu, tentu Inak Saniah dan penggarap lainnya serasa mendapatkan angin segar untuk hasil yang lebih baik ke depannya. Harapan yang begitu besar menjadi semangat mereka untuk selalu hadir pada setiap diskusi rutin yang dilaksanakan oleh Yayasan Panca Karsa-KSU Annisa setiap bulan. Mereka tidak keberatan untuk meluangkan waktu disela-sela kesibukan mereka mengurus sawah garam dan ladang mereka, ditambah dengan harus mencari rumput untuk kambing-kambing mereka. untuk menjaga animo mereka, tema diskusi pun dibuat secara variatif. Setelah pertemuan sebelumnya membahas tentang stok garam dan pola pemasaran garam serta melakukan penghijauan disekitar tempat tinggal mereka. Kali ini, diskusi yang dilakukan mengangkat mengenai sistem bagi hasil antara pemilik dan penggarap yang sudah disepakati selama ini. Tujuannya untuk mengatahui porsi yang diperoleh oleh penggarap.
Masa produksi garam yang berlangsung tidak lebih dari empat bulan, tentu sangat tergantung  panjangnya musim kemarau. Namun tahun ini, musim kemarau hanya berlangsung kurang dari tiga bulan sehingga sangat berpangaruh pada hasil panen. Jika memasuki musim penghujan maka sawah-sawah garam tersebut akan ditinggalkan. Mereka pun beralih mengolah sawah dan ladang. Ada yang mengolah sawah milik pribadi tetapi, banyak diantara mereka yang juga menggarap sawah milik orang lain. Sedikit berbeda dengan sistem nyakap pada sawah pertanian, pada sawah garam semua biaya perbaikan dan persiapan dibiayai oleh pemilik. Sementara penggarap bertanggung jawab pada segala bentuk pengerjaan sawah garam mulai dari awal persiapan hingga pada musim panen. Pembagian tugas dan pembiayaan tersebut sudah disepakati secara turun temurun dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak, meski tidak ada kesepakatan tertulis akan hal itu.


Memasuki masa pemanenan, ada beberapa tahap dan jenis garam yang dihasil. Dari diskusi tersebut didapatkan informasi bahwa panen dilakukan tiga tahap. Panen pertama garam hanya berupa garam yang bercampur lumpur dengan berat 10-15 kg, tentu saja ini tidak laku untuk dijual dan sepenuhnya menjadi milik penggarap. Beberapa pekan berikutnya sawah garap tersebut dipanen lagi dengan hasil garam kasar (sie bombongan-bahasa lokal) hasil panen ini pun tidak untuk pemilik, seluruhnya menjadi milik dari penggarap. Jumlahnya tidak lebih dari 30 Kg. Baru panen yang ketiga, dua pekan setelah panen kedua, hasilnya dibagi rata untuk pangarap dan pemilik. Beberapa produk garam pada panen ketiga ini, pertama berupa garam kasar yang bersih (sie krosok/gotok-bahasa lokal). Garam ini dibagi rata oleh pemilik dan penggarap. Kedua, bunga garam (butiran lebih kecil dari garam kasar), produk ini juga dibagi rata antara pemilik dan penggarap. Ketiga adalah air garam (aiq Peninting), produk yang ketiga ini tidak dibagi ataupun dijual. Melainkan dipergunakan untuk memproduksi garam agar proses berikutnya lebih mudah. Setiap musim garam berlangsung, garam hitam (garam yang kotor-sie bombongan) yang dihasilkan mencapai  80 Kg, yang dihargakan Rp.300 per kilogramnya. Garam hitam tersebut dijual kepada perebus garam untuk diolah menjadi garam halus.
Ada dua hal yang menarik dari hasil diskusi tersebut. Pertama mengenai jenis produk yang dihasilkan setiap panennya serta kedua persentase bagi hasil yang berlaku antara pemilik dan penggarap. Pertama, mengenai jenis produk yang dihasilkan. Hal inilah yang menjadi salah satu latar belakang Yayasan Panca Karsa dan KSU Annisa melakukan pendampingan ke beberapa lokasi poduksi garam baik di Lombok Tengah dan Lombok Timur. Harapannya setelah pendampingan dilakukan tidak hanya produktivitas yang meningkat, tetapi juga kualitas garam yag dihasilkan dapat bersaing dengan garam pulau lain dipasaran. Hingga saat ini Produksi garam di Lombok Timur memiliki banyak produk sampingan tetapi nilai ekonominya sangat rendah. Untuk garam jenis Bombongan saja  dalam satu musim produksi bisa mencapai 20% atau sekitar 400Kg dari total produksi. Jika dijual harga per kilogramnya tidak mencapai Rp.400. Dengan mengadopsi teknik pengolahan yang tepat seperti di Madura, Garam Jenis Bombongan serta Garam Hitam (sie bireng) ini dapat dikurangi sehingga akan meningkatkan hasil garam kasar yang lebih banyak. Selain itu, melalui program pendampingan ini juga akan ditingkatkan kualitas garam halus yang diproduksi dengan melakukan pendampingan kepada beberapa kelompok
Kedua, mengenai pembagian hasil. Jika kita melihat perbandingan bagi hasil yang selama ini berlaku, diperoleh perbandingan 45:50. Empat puluh lima persen untuk pemilik sawah dan lima puluh persen untuk penggarap. Secara besaran persentase tentu hal ini tidak seimbang, namun baik pemilik maupun penggarap menganggap pembagian tersebut cukup adil. “Ye wah. Cukup idap sik pembagian tie. Dait wah leq jaman papuq baloq te wah marak mene entan”. (seperti ini saja. Kami sudah merasa cukup dengan sistem pembagian yang ada. Lagi pula sistem pembagian tersebut sudah berlaku sejak nenek moyang sebelumnya). Demikian jawab Inak Saniah dan penggarap lainnya ketika ditanya mengenai sistem pembagian hasil yang berlaku apakah dirasa sudah adil bagi mereka atau tidak.  


Alasannya adalah, meski persentase yang diperoleh pemilik hanya 45% tapi jenis produk yang mereka peroleh adalah garam bersih dan  kualitas bagus sehingga harga nya pun pasti berbeda. Selain itu, pemilik biasanya tidak menjual langsung hasil panennya. Bahkan tidak jarang mereka membeli hasil panen milik penggarapnya. Mereka akan menjual garam miliknya ketika mendapatkan tawaran harga yang lebih baik serta mereka menjualnya dalam jumlah besar. Sedangkan bagi penggarap, perbedaan lima persen tersebut sangat cukup untuk menutupi biaya tenaga kerja yang mereka keluarkan selama produksi  berlangsung. Lima persen tersbut juga bukan garam yang berkuaitas baik, sehingga harga yang mereka terima cukup rendah. Sama seperti halnya pembagian tugas dan tanggung jawab pada proses pengerjaan sawah garam, sistem pembagian hasil panen ini pun sudah berlangsung secara turun menurun dan disepakati bersama meski tidak ada kesepakatan secara tertulis.
Para penggarap merasakan pertemuan yang dilaksanakan sangat bermanfaat, terutama bagi Inak Saniah yang tercatat sebagai anggota terbaru dikelompoknya. Ia menggantikan salah satu anggota yang keluar karena pindah domisili. Kini, Inak Saniah berhak untuk mendapatkan giliran untuk menggunakan kereta dorong sebagai alat pengangkut hasil panennya. Bantuan lain yang akan diberikan oleh program ini adalah vivanisasi dan mesin penyedot air. Harapannya dari bantuan yang diberikan tersebut akan mempermudah kaum perempuan penggarap sawah garam dalam melakukan tugasnya. Selain itu juga akan memberikan waktu yang lebih banyak bagi mereka untuk mengerjakan tugas domestik lainnya. Tidak terbatas pada pemberian bantuan, kaum perempuan juga akan dibekali dengan berbagai pengetahuan untuk menghasilkan garam yang berkualitas.” Ndak lueq aloq mauq te, cukup ne taek jari 75 Ton doang wah begaq cemohte” (tidak perlu terlalu banyak, cukup mampu menghasilkan 75 Ton saja sudah membahagiakan bagi kami), ungkap Inak Saniah diakhir diskusi sambil berlalu dengan tergesa. Karena Ia harus segera mencari rumput untuk kambingnya sebelum petang menjelang.

Feedback
Share This: