Pelatihan Intensifikasi Ternak dan Tehnik Budidaya Rendah Emisi

Anda di sini

Depan / Pelatihan Intensifikasi Ternak dan Tehnik Budidaya Rendah Emisi

Pelatihan Intensifikasi Ternak dan Tehnik Budidaya Rendah Emisi

Pulau Sumba merupakan salah satu gugusan pulau di wilayah Nusa Tenggara Timur dan memiliki 130 buah daerah aliran sungai (DAS) dengan total jumlah penduduk sebanyak 760.466 jiwa dan sekitar 165.882 jiwa atau 22% penduduk bermukim di 3 wilayah DAS/ Sub DAS yakni Kambaniru untuk wilayah Kabupaten Sumba Timur, Karendi untuk wilayah Kabupaten Sumba Tengah dan Sumba Barat serta Mangamba Katewel untuk wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya.

Penduduk yang bermukim di wilayah DAS/Sub DAS umumnya mengandalkan penghidupannya pada usaha tanaman pertanian ( lahan kering dan lahan basah) serta beternak.  Beternak merupakan usaha turun-temurun yang sudah dilakukan masyarakat di wilayah DAS/Sub DAS. Selain untuk kebutuhan konsumsi dan adat, beternak  merupakan salah satu  sumber pendapatan (uang) dan investasi ekonomi bagi rumah tangga.

Namun demikian, orientasi untuk peningkatan mutu dan produktivitas ternak belum/kurang dilakukan. Hal ini dapat dijelaskan kaitannya dengan sistim  pemeliharaan ternak, umumnya masih bersifat ekstensif dan semi intensif.  Orientasi pola/sistim pemeliharaan ternak ekstensif dan semi intensif  masih pada menjaga eksistensi ternak (keberadaan ternak) untuk kebutuhan adat atau kebutuhan-kebutuhan lainnya  dalam rumah tangga. Penyediaan pakan ternak masih mengandalkan pakan alami dan atau limbah pertanian yang berada/bersumber dari padang rumput, sawah, kebun/tegalan. Dengan sistim  ternak dibiarkan/dilepas untuk merumput/mencari pakan sendiri atau ternak diikat dan diberikan pakan ternak.

Ketersediaan pakan alami/limbah pertanian pada musim kemarau terbatas. Praktek-praktek antara lain: persiapan lahan dengan tebas bakar dan membakar padang (mendapat tunas rumput muda bagi ternak), merupakan faktor penyebab kurangnya ketersediaan pakan ternak. Sementara itu upaya penanaman/pengembangan jenis-jenis tanaman pakan kurang dilakukan. Walaupun pada beberapa desa/kel di DAS/Sub DAS ada petani yang menanam, namun pengetahuan dan ketrampilan untuk penyediaan/pengolahan pakan sesuai kebutuhan ternak masih sangat terbatas.
Kondisi ini menyebabkan produktivitas ternak lokal rendah dan berpengaruh pada harga jual yang diterim petani rendah. Praktek tebas bakar lahan pertanian/padang rumput telah menyumbang pada degradasi fungsi lingkungan sebagai penyangga ekosistim kehidupan dalam bentang alam DAS. Kondisi ini telah berdampak pada penurunan tingkat pendapatan masyarakat terutama masyarakat miskin dan kelompok rentan, yang mengandalkan mata pencahariannya dari bertani dan beternak.

Salah satu penerima hibah pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat/Window 2 dari Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia yang mulai bekerja di Pulau Sumba sejak bulan Juli 2016, adalah Konsorsium Pembangunan Berkelanjutan NTT yang dikoordinator oleh CIS Timor dan beranggotakan 9 lembaga yaitu Yayasan Wali Ati (Yasalti), Yayasan Harapan Sumba (YHS), Satu Visi, Koppesda, Pakta, Pelita Sumba, Waimaringi dan Bengkel Appek. Konsorsium ini mengusung nama program “Optimasi Pengelolaan DAS Kambaniru, Karendi dan Mangamba Katewel Melalui Aksi Konservasi Lingkungan dan Peningkatan Ekonomi Berbasis Masyarakat di Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur”.

 

Tanggal 27-28 Januari 2017 bertempat di Aula Wisma Cendana - Sumba Timur, Konsorsium Pembangunan Berkelanjutan NTT mengadakan “Pelatihan Intensifikasi Ternak dan Tehnik Budidaya Rendah Emisi Untuk Wilayah DAS Karendi” dan diikuti oleh sekitar 40 peserta yang merupakan perwakilan 10 Desa yaitu Desa Kiritana, Mauliru, Mbatakapidu, Maulumbi, Ngarukahiri, Waikabanu, Mahaniwa, Lukukamaru, Maidang dan Katikuwai dengan masing-masing desa mengirimkan 4 peserta yang merupakan anggota kelompok penerima manfaat program intensifikasi ternak ini.

Kegiatan dibuka oleh Kepala Dinas Peternakan Sumba Timur, Bapak Yohanis Radamuri. Dalam sambutannya ketika membuka kegiatan Pak Yohanis menegaskan bahwa salah satu kendala dalam pengembangan ternak yang baik (khususnya babi) adalah masalah pakannya. Dimana seharusnya kesulitan pakan ini dapat mendorong para peternak untuk kreatif di dalam mengolah dan mengembangkan pakan yang baik dengan memanfaatkan sumber-sumber pakan yang ada disekitar tempat tinggal. Sehingga diharapkan dengan adanya pelatihan ini para peserta nantinya mampu berbagi informasi dan pengetahuan dengan warga lain bahkan membawa isu ini untuk dibahas dalam Musrenbangdes (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa) sehingga ada tindak lanjut setelah pelatihan.

Program Manager Konsorsium Pembangunan Berkelanjutan NTT, Bapak Firmansyah A.D. Masa menjelaskan bahwa dalam program ini akan fokus ke ternak babi dan sapi (tetapi tidak ada pembagian babi dan sapi). Ternak yang dikembangkan adalah ternak yang saat ini menjadi milik masing-masing anggota kelompok/penerima manfaat, dengan proporsi intervensi 70% fokus ke pakan, 20% fokus ke bibit dan 10% fokus ke kesehatan hewan. Adapun pakan yang dikembangkan adalah ubi jalar ungu dan lamtoro dengan luas lahan sekitar 200 Ha untuk 10 desa yang disiapkan untuk menanam.
Dalam kehidupan sosial masyarakat Sumba sendiri,  ternak seperti sapi, kuda, kerbau dan babi merupakan ternak penting yang harus ada dalam hampir semua urusan, dari kelahiran sampai kematian. Adat-istiadat tidak akan berjalan tanpa ternak ini dan hal ini sangat mempengaruhi harga diri orang Sumba. Khusus untuk babi, merupakan salah satu komoditi/pemain pada rantai pasar ternak di Pulau Sumba, karena untuk memenuhi kebutuhan pasar hampir 50% babi harus didatangkan dari luar Sumba sehingga harganya menjadi sangat tinggi.
Memasuki era tahun 2000an komoditi ternak ini mulai meresahkan masyarakat karena semakin menurunnya produktifitas serta mulai munculnya kendala dalam memelihara ternak misalnya masalah pakan dan sistem peternakan yang masih tradisional, dimana hewan dipelihara dengan cara tidak dikandangkan/ dilepas di padang-padang terbuka. Dari situasi ini maka ada kebutuhan untuk memberikan pengetahuan praktis pada masyarakat baik secara sosial, ekonomi maupun teknis sehingga nantinya dapat melakukan pemeliharaan ternak sapi, kuda, kerbau, babi secara intensif berbasis pakan lokal dengan lahan terbatas serta ramah lingkungan.

 

 

Kegiatan yang dilaksanakan selama 2 hari ini terbagi atas sesi materi di dalam kelas dan sesi praktek di luar kelas. Praktek yang dilakukan adalah pembuatan pakan babi dari ubi jalar ungu, pembuatan pupuk bokashi padat dan cair, pembuatan pakan sapi dari daun-daun kering (hay) dan daun-daun hijau (silase).
Hay adalah hijauan pakan yang dikeringkan dengan cara tertentu yang bertujuan untuk menekan kadar air serendah mungkin sehingga dapat disimpan dan tidak mengalami kerusakan selama penyimpanan, sebelum diberikan pada ternak. Hay umumnya diberikan pada ternak sebagai pakan di musim kemarau pada saat produksi hijauan segar telah berkurang atau sulit diperoleh. Limbah pertanian seperti jerami padi, limbah kacang tanah, jagung, kacang hijau dan lainnya juga dapat dibuat hay. Sedangkan untuk pengeringan hay dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pengeringan alamiah menggunakan mesin dan secara alamiah dengan mengeringkan di bawah sinar matahari langsung maupun diangin-anginkan di bawah naungan pohon besar, gedung, rumah dan tidak boleh terkena hujan yang dapat menyebabkan pembusukan dan rusaknya daun hijau serta nilai gizinya menjadi sangat rendah dan tidak bermanfaat bagi ternak.

 

Silase adalah hijauan pakan yang diawetkan dengan cara disusun sekitar 5-6 lapisan di atas permukaan tanah atau media lain, misalnya menara, sumur gali atau drum. Dimana hijauan yang digunakan berasal dari semua jenis hijauan yang disukai ternak dan tidak terlalu tua ataupun terlalu muda. Kadar air dalam hijauan ini akan diturunkan dengan cara dikeringkan atau dilayukan, dengan menggunakan dedak padi yang halus sebanyak 5% sebagai pengawet. Ciri-ciri silase yang baik warna daun masih hijau, tekstur daun masih utuh ketika dimasukkan,kadar amonika rendah (<10%) dan pH daun sekitar 4-5. Tempat membuat silase di sebut silo dimana pembongkaran silo dapat dilakukan setiap wakti setelah silasa jadi atau sekitar 21 hari. Silase dapat diberikan pada ternak dengan takaran sekitar 10% dari badannya dan diberikan sedikit demi sedikit jika belum terbiasa.

Selain dilakukan untuk wilayah DAS Kambaniru di Kabupaten Sumba Timur, kegiatan yang sama juga dilakukan  untuk wilayah DAS Karendi yang mencakup Kabupaten Sumba Tengah dan Sumba Barat pada tanggal 25-26 Januari 2017 di Aula Hotel Ronita, Sumba Barat. Kegiatan ini juga diikuti oleh sekitar 40 peserta dari 5 Desa di Sumba Tengah dan 5 Desa di Sumba Barat.
Kegiatan dibuka oleh Kepala Dinas Peternakan Sumba Barat, Bapak  Ir. Petrus Tagu Bore yang berkesempatan juga berbagi tentang kebijakan pembangunan peternakan dan kesehatan hewan di Sumba Barat. Menurut beliau di Sumba ada kebiasaan memotong betina produktif dan ini menyebabkan populasi ternak menurun. Ada beberapa hal yang sudah dilakukan Dinas Peternakan untuk menjaga produktifitas ternak misalnya memenuhi kebutuhan air ternak lewat penyediaan sumur bor dan embung, membentuk sekitar 21 kawasan padang pengembalaan sekaligus untuk mencegah alis fungsi menjadi kebun atau sawah serta pelayanan kesehatan ternak berupa vaksinasi secara teratur. Dalam pelayanan kesehatan ternak Kabupaten Sumba Barat mendapat sertifikat pemberian pelayanan kesehatan ternak terbaik tingkat Propinsi.
Menurut Bapak Firmasyah A D Masa, kurang lebih akan ada 700 penerima manfaat dari aspek peternakan di DAS Karendi,  dengan areal yang akan dikembangkan mencapai 140 Ha yang dibagi dua untuk ubi jalar ungu dan lamtoro.  Jadi untuk peternakan hampir 2100 orang yang akan terlibat dan ini membutuhkan adanya sinergitas dan koordinasi yang baik  dengan pemerintah daerah, baik di level kabupaten, kecamatan hingga desa.
Ubi jalar merupakan jenis ubi yang sudah dikenal sejak lama dan merupakan salah satu sumber pangan di NTT. Dari segi budaya tanaman, ini merupakan bagian dari kehidupan petani di lahan kering. Tanaman ini menyumbang karbohidrat, vitamin yang bersumber dari umbi maupun daunnya. Ubi ini mampu bertahan di daerah dengan curah hujan yang sangat rendah dan tingkat kesuburan tanah yang tidak terlalu tinggi. Ubi jalar ungu dipilih untuk dikembangkan sebagai pakan ternak karena ubi ini tidak merayap seperti lazimnya ubi jalar yang ditanam selama ini. Umbinya hanya berada pada pangkal akar sehingga dapat dikembangkan di lahan sempit dimana setiap tanaman dapat menghasilkan umbi 1-2 kilogram  dengan umur panen 120-150 hari setelah tanam.
Sedangkan lamtoro merupakan tanaman umur panjang berbatang keras dengan tinggi mencapai 12-18 meter dengan akar yang dapat menghasilkan pupuk bagi tanaman lain. Lamtoro dikenal sebagai penghasil pupuk hijau (nitrogen) terbaik diantara tanaman-tanaman lain yang sejenis. Daunnya merupakan pakan ternak yang sangat baik bagi babi, sapi dan kambing karena mengandung protein yang baik bagi pertumbuhan.

 

Untuk semua kegiatan ini, difasilitasi oleh Bapak Ir. Zet Malelak,Msi dan Ir. Bernadus Ndoen,Mp. Dan materi yang dibawakan oleh narasumber terkait Konsep Berpikir tentang peternakan babi dan sapi secara intensif berbasis pakan lokal serta ramah lingkungan, portofolio komoditas, rantai nilai, peternakan rendah emisi serta praktek pembuatan pakan ternak dari ubi jalar ungu dan lamtoro, pembuatan pupuk bokashi padat dan cair serta pembuatan pakan sapi dari daun-daun kering (hay) dan daun-daun hijau (silase).
Melalui pelatihan ini, peserta diharapkan mendapatkan tambahan informasi, pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik tentang intensifikasi ternak, ketrampilan budidaya ternak rendah emisi serta pasca pelatihan peserta lewat pendampingan fasilitator akan dimotivasi untuk menunjukkan contoh bagi petani lain.

Feedback
Share This: